Perang
adalah awal dari upaya perdamaian, Bagaimana Prosedur terjadinya upaya itu?
Kata "perang" (war) berasal dari bahasa Perancis-Jerman
"werra" yang berarti "ketidaksepakatan" (discord), erat
kaitannya dengan bahasa Latin "bellum" yang berarti duel atau bahasa
Yunani "polemos" yang berarti kontroversi agresif. Dalam bahasa Jawa
Kuno, kata kerja untuk "pran" (baca: perang), yang berarti
perkelahian, adalah anran, pinran, pamran yang berarti "menikam, menusuk,
dan menyerang". Dari banyak arti ini menunjukkan bahwa perang memiliki
arti negative. Dan memang dilihat dari kenyataannya
perang banyak menimbulkan kerugian. Banyak nyawa tidak berdosa melayang karena
perang. Ada anak-anak yang kehilangan
orang tuanya dan istri yang kehilangan
suaminya semata-mata karena perang. Tidak hanya itu perang juga menimbulkan
kerugian materil, kelaparan dan banyak lagi kerugian-kerugian yang lainnya.
Tapi pernahkah terpikir bahwa perang memiliki arti positif? Bagaimana
sebenarnya perang itu? Dan Apakah perang adalah upaya perdamaian?
The
Nature Of War
Perang
merupakan persoalan yang hampir setua peradaban. Beratus-ratus tahun sebelum
masehi, Thucydides telah menulis Perang Poloponnesos (Peloponnesian War,
431-404 BC). Di dalamnya, Thucydides bukan hanya menggambarkan bagaimana
tentang adu pedang di berbagai wilayah yang melibatkan tentara Athena dan
Sparta selama 27 tahun, melainkan juga menjelaskan mengapa manusia berperang.
Bagi Thucydides, harapan kemenangan adalah bayangan ujung pedang. Karena itu,
perang terjadi ketika pedang dirasa semakin panjang dan tajam.
Thucydides
tidak melihat perang dari sudut moralitas. Baginya, perang merupakan kenyataan
hidup yang tidak dapat dielakkan. Seperti digambarkan dalam dialog antara
pemimpin Melos dan Athena, acapkali manusia hanya dihadapan pada pilihan
"siap menabuh genderang perang dan menjemput maut, atau membiarkan
tenggelam dalam pesona damai hanya untuk pada akhirnya menyerah di tiang
gantungan". Sparta, pemenang perang Poloponnessos, 33 tahun kemudian harus
bertekuk lutut dikaki Theba, pewaris Athena.
Di
Asia, baik Sun Tzu maupun Kautilya menyuarakan gaung yang kurang lebih sama.
Bagi Sun Tzu, perang merupakan persoalan hidup-mati, jalan menuju keagungan
atau kebinasaan. Bagi Kautilya, perang merupakan sesuatu yang harus dilakukan
bukan hanya untuk mempertahankan kehormatan tetapi juga untuk mewujudkan mimpi.
Seperti Thucydides, Sun Tzu dan Kautilya adalah kaum realis. Mereka percaya
bahwa perang (vigraha) merupakan salah satu bentuk hubungan yang paling dominan
dalam kehidupan antar negara.
Karya
Sun Tzu penuh dengan berbagai manuver untuk memenangkan perang. Kautilya tidak
jauh berbeda. Mereka sepakat bahwa, karena perang selalu penuh dengan
ketidakpastian, maka kalah atau menang sangat tergantung pada perhitungan yang
tepat tentang kekuatan diri dan kelemahan lawan. Kekuatan ltu bisa saja
merupakan sesuatu yang terletak pada ketajaman ujung pedang, kecepatan gerak,
maupun kecermatan nalar. Perang terjadi dalam konteks hubungan antar negara
dengan menggunakan satuan-satuan militer yang terorganisasi secara sistematik.
Perang merupakan sesuatu yang inheren dalam masyarakat, baik karena keinginan
untuk menguasai maupun keengganan untuk dikuasai. Perang merupakan pilihan yang
hanya ditempuh setelah kegagalan berbagai upaya damai. Karena mempertaruhkan
hidup mati, perang dapat dilakukan dengan menggunakan segenap sumber daya
nasional.
Namun,
di sisi lain, dalam sistem internasional yang anarkis, menurut pandangan Sun
Tzu, perang merupakan suatu jalan dalam
menciptakan suatu perdamaian dan menentukan hidup atau matinya suatu bangsa
Perspektif
Realis Terhadap Perang
Realisme
merupakan salah satu pespektif dalam hubungan internasional. Salah satu
pandangan utama kaum realist adalah pesimistik atas sifat dasar manusia, yang
pada dasarnya ingin menjadi penguasa, mendominasi pihak lain dan keyakinan
bahwa hubungan internasional pada dasarnya bersifat konfliktual dan pada
akhirnya konflik internasional diselesaikan melalui perang. Realisme menyatakan
bahwa aktor utama dari hubungan internasional adalah negara, dan negara,
seperti halnya manusia, memiliki sifat yang buruk yakni egois, mementingkan
diri sendiri, dan cenderung untuk berkonflik.
Terdapat
tiga tipe pandangan realis, yaitu structural realism, historical realism, dan
liberal realism. Structural realism meruapakan pandangan tentang konflik yang
permanen atau prakiraan konflik di masa mendatang. Structural realism dibagi
menjadi dua, structural realism I dan II. Structural realism I lebih menekankan
kepada perilaku manusia sebagai strukturnya sedangkan structural realism II
menekankan kepada perilaku negara yang bersifat anarki karena otoritas
kedaulatan negaranya yang mutlak. Kemudian historical realism merupakan
pandangan realis yang menganggap bahwa realisme merupakan sebuah izin untuk
melakukan segala hal demi melangsungkan kehidupan bernegara. Dan yang terakhir,
liberal realism merupakan penolakan atas segala konflik dan tindak anarkis di
dalam kehidupan bernegara. Menurut pandangan ini, semua masalah dapat
diselesaikan dengan baik tanpa harus melalui kekerasan atau peperangan,
misalnya dengan cara bernegosiasi.
Realisme
menganggap perang adalah hal yang biasa terjadi. Pandangan realisme bertolak
pada realitas yang ada pada masa peperangan. Baik karya Thucydides yaitu The
Peloponnesian War yang menceritakan mengenai peperangan antar Negara-Kota di
Yunani masa itu, kemudian buku karya Hans Morgenthau yang sangat populer hingga
kini yakni Politics Among Nations. Begitu pula Machiavelli dengan The
Prince-nya yang menjelaskan mengenai kondisi negara-kota di Italia pada masa
itu. Pada masa itu, perang adalah suatu cara yang sering digunakan untuk
memperoleh kepentingan nasional. Kerjasama pada masa itu cenderung
dikesampingkan, mengingat bahwa perang lebih mudah dan efisien dilakukan
daripada melakukan sebuah perjanjian dengan kondisi antarnegara yang tidak
saling percaya. Bagi para realis, perang dianggap sebagai solusi atas segala
masalah. Hal ini sesuai dengan esensi dari realisme yakni, statis, self-helped,
dan survive.
Von Clausewitz (2007) melihat perang
sebagai ‘continuation of politics by other meaning’, sebagai sebuah instrument
yang digukanan untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, menganggap bahwa
perang secara instrinsik merupakan sebuah tindakan yang bersifat politis,
sehingga ketika kita ingin memahami suatu peperangan makan kita harus mengerti
mengapa para pengambil kebijakan memilih tindakan militer dari pada kebijakan
lain untuk mencapai kepentingannya
Perang
merupakan suatu tindakan pencampaian perdamaian yang sangat tradisional dan
memang sangat destruktif. Kita bisa melihat konflik panjang terjadi tanpa ada
penyelesian karena tidak pernah terjadi perang. Contohnya saja konfik antara
Israel dan Palestina yang tak berujung.
Fenomena
perang dan damai terjadi silih berganti. Kembali kepada sifat dasar manusia
yang ingin menjadi pengendali bagi yang lainnya, masa damai merupakan suatu
masa untuk mempersiapkan diri menghadapi perang selanjutnya. Para penteori
konflik secara tradisional mendefinisikan damai sebagai ketiadaan perang (atau
mungkin ketiadaan konflik militer Pernyataan ini mungkin dapat kita saksikan
sendiri dalam fenomena hubungan internasional, ketika masa perang dunia satu
berakhir, terjadi masa interbellum menjelang perang dunia kedua dimana
negara-negara kalah perang seperti Jerman kembali membangun kapasitas dan
kapalitas militernya. Setelah berakhirnya perang dunia dua, negara mengalami
masa damai hingga munculnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni
Soviet. Berakhirnya perang dingin dunia kembali damai. Dan sekarang semenanjung
korea kembali memanas dan di khawatirkan akan terjadi perang. Begitu seterusnya
seperti lingkaran yang tak berujung.
Perang
menjadi upaya untuk mengokupasi suatu negara agar negara tersebut tunduk dan
patuh terhadap negara yang mengokupasi. Kalau tidak, maka akan kembali muncul
negara kekuatan baru. Pada dasarnya ketika suatu negara telah diokupasi, maka
di sanalah perjanjian damai dapat dibuat. Walaupun yang terjadi kemudian banyak
memunculkan pemberontakan-pemberontakan kecil. Ketika perjanjian damai telah
terbentuk, maka dapat dikatakan bahwa perang sebagai insturment untuk
menciptakan perdamaian telah terwujud.
Comments
Post a Comment