Jadi
di penghujung tahun 2016 akhirnya dapat kesempatan lagi buat berkunjung ke
Borneo, lebih tepatnya di Kalimantan Timur. Kali ini aku gak sendirian tapi
rame-rame sama keluarga soalnya ada sepupu yang mau nikah (nyesek yang nikah
adikku.. hiks). Dan kali ini kita gak naik pesawat tapi naik Kapal laut
berjenis Kapal Motor. Kita berangkatnya lewat pelabuhan Parepare naik KM.
Lambelu. Karena jadwal keberangkatan kapal jam 7, otomatis kita harus siap-siap
jam 5, jadilah di pagi buta yang masih gelap kita sudah harus ada di pelabuhan.
Sebenarnya bagus juga sih naik kapal soalnya lebih murah (setengah harga naik
pesawat, lumayan kan).
Aku excited banget soalnya terakhir kali naik kapal tuh
pas masih kecil dan berakhir dengan insiden yang buruk (gak usah dicerita Ay).
Dan kenangan masa kecil itu lupa-lupa ingat jadi pas naik kapal langsung ber
“oh” ria, begini toh yang namanya naik kapal. Dan yang menarik adalah Pelni
sudah bikin kebijakan buat menghilangkan tiket kelas dalam kapal, jadi semua
yang naik kapal Cuma menggunakan tiket ekonomi yang artinya sama rata sama
rasa. Tapi ekonominya bagus kok. Jangan bayangin kita harus gelar tikar di
lantai kapal tapi ada fasilitas tempat tidur kayak bangsal gitu. Cuman namanya
juga transportasi terbatas jadi kadang-kadang masih ada juga yang melantai.
Untungnya pas berangkat ternyata gak terlalu ramai, sepi malah soalnya yang
terisi cuma satu dek aja. Dan karena baru naik kapal lagi pas awal-awal agak mabok
ditambah kita di dek paling bawah jadi goncangan kapal agak terasa, mana ombak
ternyata cukup tinggi karena angin muson barat. Kita sampai di Balikpapan malam
jam 10an. Sampe di Balikpapan kita di jemput sama om, sebagian naik angkot
karena mobil gak cukup soalnya kebanyakan barang (maklum orang desa ke kota).
Sampe di rumah om langsung bobo cantik.
Besoknya
sebagian sudah berangkat ke Samarinda buat bantu-bantu persiapan pernikahan
kecuali aku yang masih tinggal soalnya disuruh bantu jaga bayi. Rencananya aku
perginya nanti bareng kakak dan Om. Balikpapan yang kutinggal dua bulan gak
banyak berubah sih. Kilo masih hutan belantara dengan berbagai hewannya. Di
balikpapan juga gak terlalu banyak kegiatan sih. Ba’da Jum’at kita pun
berangkat ke Samarinda pake mobil Om. Ini juga baru pertama kalinya aku ke
Samarinda naik mobil pribadi biasanya naik bus yang Cuma singgah bentar. Naik
mobil pribadi tuh bisa lebih menikmati pemandangan. Saat waktu shalat Ashar
kami singgah untuk shalat di Mesjid Cheng Ho yang terletak di Loa Janan. Sama
seperti mesjid Cheng Ho yang tersebar di seluruh Indonesia, mesjid ini juga
identik dengan arsitektur khas tinghoanya, warna merah di mana-mana. Keberadaan
mesjid ini sangat berguna sebagai tempat persinggahan buat orang-orang yang sedang
dalam perjalanan Balikpapan-Samarinda soalnya sepanjang jalan kedua kota ini
masih full of trees dan jarang banget tempat singgah. Pas magrib kami pun
sampai Samarinda. Acara pengantin sendiri dilaksanakan hari minggu. Pre
memory.. (Hehe gak usah dibahas yah acaranya kayak apa, tau sendiri kan kalo
orang Bugis bikin pesta pernikahan, butuh banyak tenaga, waktu dan materi. Tapi
Alhamdulillah lancar sih, banyak bantuan dari mana-mana).
Hari
senin kami memutuskan untuk One Day Trip keliling Samarinda. Ceritanya sih
dalam rangka melepas lelah setelah kemarin habis bikin acara. Berhubung agak
bingung tempat mana lagi di Samarinda yang butuh di eksplor maka kami
menggunakan fasilitas mesin pencari alias mbah gugel buat ngasih petunjuk.
Setelah mengetik Keyword “Tempat wisata di Samarinda” maka keluarlah daftar
jawaban dari Google. Ada yang berjudul “10 Tempat wisata di Samarinda”, “14
tempat wisata di Samarinda” dan berbagai judul lainnya. Biasanya artikel yang
tampil pada pencarian teratas yang paling bagus rekomendasinya. Di situ ditulis
daftar tempat wisata yang bisa di datangi. Dimulai dari Desa Adat Pampang,
Kebun Raya Unmul (biasa juga disebut kebun raya samarinda), water park dan
beberapa tempat wisata yang sebenarnya tidak di Samarinda tapi di Tenggarong
dan Bontang. Karena Tenggarong dan Bontang agak jauh dan lama maka kami memilih
Desa Adat Pampang dan Kebun Raya serta water park sebagai tempat wisata yang
akan didatangi. Kebetulan yang ikut kebanyakan anak- kecil termasuk aku..
hehe.. jadi pasti cocok kalo pergi ke tempat kayak kebun raya soalnya bisa
mengedukasi juga dengan keragaman flora dan fauna. Lagi-lagi dengan bantuan
mbah gugel baik hati, kami berangkat dengan dipandu oleh Ok. Google. (Canggih
yah). Tempat pertama yang akan di datangi adalah Desa Adat Pampang yang
merupakan desa wisata dimana kita bisa melihat suku dayak asli beserta segala
hal adatnya. Tempatnya berjarak 38 menit menurut mbah. Dari jalan besar
ternyata cukup jauh ke dalam. Meskipun tidak bisa di bilang pedalaman juga
karena ternyata rumah-rumah cukup modern sih yaitu rumah kayu dengan bentuk
kotak khas Dayak.
Sampai
di Desa Pampang kita memasuki Balai Lanun Adat yaitu balai berbentuk rumah
panggung yang luas dengan ukiran khas Dayak dan digunakan untuk melakukan
berbagai ritual adat. Berhubung kami datangnya senin jadi bisa dibilang kami
satu-satunya pengunjung. Namun kami tetap disambut oleh tetua adat yang memakai
pakaian adat khas Dayak. Ada satu tradisi dalam suku dayak yang bisa dibilang
cukup unik yaitu memanjangkan cuping telinga atau disebut Telingaan Aruu. Tapi
kami hanya mendapati satu tetua yang bertelinga panjang. Memang katanya budaya
ini sudah sangat jarang dilakukan. Untuk menyambut kedatangan kami seorang
tetua langsung memukul-mukulkan Talawang (Perisai khas suku Dayak) ke lantai.
Ini bermaksud untuk mengabarkan kepada warga desa bahwa sedang ada tamu. Satu
persatu anak kecil berpakaian adat masuk ke dalam balai. Ternyata mereka adalah
penari yang akan menghibur kami dengan tarian adat Dayak. Biasanya tarian hanya
disajikan pada akhir pekan atau hari libur. Tapi kami mendapat pengecualian
setelah mereka tahu bahwa kami dari sebrang pulau. Ada sekitar 5 anak yang
menari dengan bulu burung Enggang dijarinya diiringi oleh musik khas yang
diputar lewat hp (iya sudah modern sepertinya). Burung Enggang merupakan burung
keramat bagi suku dayak dan selalu digunakan sebagai lambang dan simbol
kebesaran orang Dayak. Setelah mereka menari kami pun berfoto bersama dengan
pata tetua, Bapakku diperbolehkan memakai penutup kepala dan rompi khas mereka.
Setelah itu kami pun pamit pulang, tidak lupa singgah sebentar di kios souvenir.
Souvenir yang dijual tidak berbeda jauh dengan souvenir yang biasa dijumpai di
pasar kebun sayur. Ada beragam tutup kepala khas dayak, pakaian adat, kalung,
gelang, gantungan kunci dan berbagai cindera mata lainnya. Bahkan diluar balai
pun hanya kami yang bisa dihitung sebagai pengunjung, hanya ada beberapa penduduk
desa yang berpakaian seperti biasa. Adat Dayak hanya terasa saat memasuki balai
lanun tanda budaya suku asli yang semakin terpinggirkan oleh modernitas Kaltim
yang bertabur Mall dan Hotel berbintang.
Setelah
dari Pampang, persinggahan selanjutnya adalah Kebun Raya Samarinda. Kami tidak
sabar untuk menemui beragam flora dan fauna apalagi Borneo terkenal akan
keragaman Flora dan Fauna (Beneran, film Anaconda 2 aja syutingnya disini).
Untuk masuk disini membayar karcis Rp5000/ orang. Petugas karcis memberi tahu
kami bahwa hari ini kami tidak bisa melihat beruang, hewan yang menjadi simbol
Kaltim. Kami pikir tidak masalah, toh masih banyak hewan yang lain yang bisa
dilihat. Saat sampai ke dalam ternyata tempatnya berundak alias
bertangga-tangga. Ada kios penjual snack di bagian paling bawah. Kami juga
menjumpai kera-kera kecil yang lari saat melihat kami. Kami naik ke bagian
selanjutnya dan menjumpai seekor burung Merak dalam sangkar besar. Ada sebuah
kandang luas yang kosong dan dipenuhi oleh rumput liar dan semak, mungkin
itulah tempat beruang tadinya. Naik lagi kami menemukan dua kandang berisi
masing-masing seekor Kera (maaf tidak tahu jenisnya apa karena tidak ada papan
informasi). Bukannya bahagia melihat kera kami malah sangat sedih dan berharap
mereka dilepaskan saja. Lihat saja bagaimana mereka menggaruk karena lantai dan
kandang yang terlihat sangat kotor seperti tidak pernah dibersihkan
berminggu-minggu. Selebihnya kami hanya melihat kandang rusak atau kosong.
Hanya itu. Anak- anak tangga pun sebagian besar sudah rusak jadi kami harus
hati menginjakkan kaki. Di bagian atas juga ada tempat kios-kios jualan yang
kosong. Kami turun lewat sisi lain dan melihat di kejauhan ada akuarium, tapi
kami tidak kesana karena kelihatannya pun akurium itu hanya tempatnya saja. Ada
juga wahana permainan untuk anak-anak tapi sepertinya tidak digunakan lagi. Sedangkan
Floranya entah di bagian mana. Tanpa menunggu waktu lama kakakku langsung
mengambil mobil. Di tempat kami menunggu, kami mendapati seekor Burung dalam
sangkar kecil seperti yang biasa ada di rumah orang yang memelihara burung di
gantung di tiang. Mungkin itu punya orang bukan bagian dari kebun raya.
Selebihnya hanya segelintir kios makanan dan minuman. Tentu saja sangat miris
melihat kondisi Kebun Raya yang sangat tidak terawat ini (Percayalah saat
kubilang penangkaran rusa di Unhas masih lebih terawat). Sepupuku yang pernah
berkuliah di Salah satu universitas negeri disini bilang memang dari dulu sudah
begitu dan hanya digunakan untuk tempat orientasi mahasiswa baru. Kuharap
pemerintah memberi perhatian lebih. Please?!
Setelah
Kebun Raya kami ingin mengobati kekecewaan anak-anak dengan mengajak mereka ke
Water Park untuk berenang. Sial bagi kami ternyata seluruh Water Park tutup.
Mungkin karena hari senin adalah hari bersih-bersih setelah Water Park padat
dengan pengunjung di akhir pekan. Bingung mau kemana lagi akhirnya kami singgah
di Mall Lembuswana dekat rumah sepupuku dan mengajak anak-anak untuk bermain di
Timezone. Yah ujung-ujungnya di Timezone, Ujung-ujungnya di Mall. Padahal misi
kami adalah memperkenalkan anak-anak dengan alam dan budaya di Samarinda.
Beberapa
hari kemudian aku kembali ke Balikpapan dan lanjut pulang ke Parepare masih
dengan menggunakan KM. Lambelu. Saat pulang ini jadi lebih berat, bukan Cuma karena
kapal berangkat lebih pagi yaitu jam 5 subuh tapi juga karena bawaan kami
bertambah berat dengan oleh-oleh (buat ibu-ibu ke Samarinda belum afdol jika
belum beli segala macam peralatan dapur di pasar Segiri atau pasar pagi). Belum
lagi ditambah dengan rombongan keluarga sepupuku dari Makassar yang ikut naik
kapal karena tiket pesawat mahal (namanya juga mau tahun baru jadi tiket
pesawat Balikpapan-Makassar naik sampe sejuta lebih, 5 kali lipat dari harga
tiket kapal). Untungnya pelabuhan balikpapan tidak seketat di Parepare jadi
masih banyak yang bantu. Berhubung dekat libur natal dan tahun baru, penumpang
kapal membludak karena banyak penumpang yang menuju Maumere. Kami hanya
mendapat beberapa bangsal tempat tidur jadi harus bersempit-sempitan selama 15
jam. Tapi kami masih beruntung karena banyak sekali penumpang yang tidak
mendapatkan tempat tidur sampe harus tidur di emperan, lantai bahkan bawah
tangga. Kami tiba di Parepare setengah delapan malam.
Yup
demikianlah kisahku selama seminggu tinggal di Kaltim. Semoga kapan-kapan aku
bisa kembali lagi ke Borneo karena masih banyak list tempat yang belum
kudatangi.
Oh iya Happy New Year Every One..
Comments
Post a Comment