Skip to main content

Pendidikan Bagi Anak Imigran



Baru-baru ini mendapat pekerjaan baru masih sebagai pengajar tapi bukan lagi mengajar anak Indonesia tapi anak asing dan bisa dibilang betul-betul asing karena dari pengungsi dan pencari suaka. Mereka berasal dari banyak negara yang sampai saat ini masih berkonflik. Ada yang berasal dari Afghanistan, Pakistan, Somalia, Iran, Srilanka, Myanmar, dll. Jangan Tanya bagaimana rasanya karena betul-betul menjadi tantangan sendiri dimana aku harus mengajar dalam Bahasa Inggris dan betul-betul memutar otak bagaimana metode mengajar yang pas dan nyaman buat mereka. Oh iya aku mengajar untuk subject Social Science. Sebelum berlanjut dengan kisah mengajarku aku akan menceritakan sedikit seperti apa yang disebut pengungsi atau Asylum Seeker ini.
Kata Migrant, Refugee dan Asylum Seeker sering sekali digunakan untuk mendefinisikan mereka. Tapi sebenarnya terdapat perbedaaan arti dari kata-kata tersebut. Migrant merupakan seseorang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk hidup di negara lain selama lebih dari satu tahun. IOM memperkirakan 232 juta orang setiap tahunnya menjadi International Migrant dan 740 juta lainnya telah pindah dari negara asalnya. Ada banyak alasan seseorang menjadi Migrant bisa karena bekerja, sekolah maupun karena perang. Di masa lampau penggunaan kata “Immigrant” ditujukan untuk seseorang yang ditempatkan di negara baru.
Sedangkan Refugee atau pengungsi adalah orang yang telah melarikan diri dari konflik bersenjata atau penganiayaan dan dianggap memerlukan perlindungan internasional karena terlalu berbahaya bagi mereka untuk kembali ke rumah. Mereka dilindungi oleh hukum internasional berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951, yang mendefinisikan apa itu pengungsi, jenis perlindungan dan bantuan hukum serta hak-hak yang diberikan kepada mereka. Konvensi ini berdasarkan prinsip Non- Refoulment bahwa pengungsi tidak boleh diusir atau dikembalikan ke situasi dimana kehidupan dan kebebasan mereka terancam. Begitu seseorang dianggap pengungsi , mereka seharusnya diberi akses ke perumahan social dan tunjangan kesejahteraan dan membantu mereka menemukan pekerjaan dan berintegrasi dalam masyarakat. Prinsip ini tertuang lebih jelas ke dalam 3 pasal, yaitu:
1.     Pasal 31 : Pengungsi yang masuk ke sebuah negara secara tidak sah, negara tersebut tidak dapat menghukum sesuai hukum yang  berlaku. Pengungsi diwajibkan melaporkan diri kepada pihak berwenang untuk menunjukkan alasan keberadaanya.
2.      Pasal 32 : Pengusiran, Negara yang disinggahi oleh pengungsi tidak dapat melakukan tindakan pengusiran kecuali karena alasan keamanan nasional dan ketertiban umum. Pengungsi dapat dideportasi apabila melanggar hukum pidana.
3.      Pasal 33 : Pengungsi tidak dapat diusir ke wilayah-wilayah yang berpotensi dapat membahayakan jiwa.

UNHCR sebagai badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi memperkirakan hampir 60 juta orang terpaksa berpindah tempat di seluruh dunia, termasuk berpindah dari negara asalnya. Lalu untuk Asylum Seeker atau pencari suaka mengharuskan negara-negara di bawah kewajiban internasional untuk mempertimbangkan klaim suaka dan tidak segera mengembalikan pencari suaka ke negara tempat mereka melarikan diri. Konvensi pengungsi menyatakan bahwa mereka harus diberi akses terhadap prosedur suaka dan tindakan yang adil dan efisien untuk memastikan mereka hidup aman sementara klaim mereka diproses.
Dalam penanganan pengungsi ada 2 lembaga besar yang berperan yaitu UNHCR dan IOM. UNHCR atau United Nations High Commissioner for Refugees merupakan badan di bawah PBB dan menjadi pihak yang menentukan status seseorang sebagai pengungsi atau bukan serta sebagai penentu negara ketiga bagi pengungsi. Negara ketiga ini bukan negara dunia ketiga yah tapi negara yang akan menjadi tempat tinggal baru bagi pengungsi nantinya (resettlement). Sedangkan IOM atau International Organization for Migration berfungsi menyediakan fasilitas pemulangan secara sukarela (voluntary repatration) ke negara asal pengungsi dan segala hal yang berkaitan dengan migrasi termasuk pemenuhan hak-hak pengungsi karena IOM sendiri dibentuk berdasarkan konvensi pengungsi 1951.
Indonesia kemudian menjadi salah satu tempat persinggahan bagi banyak refugee dan asylum seeker karena pengungsi yang kebanyakan dari negara timur tengah dan ingin mencari suaka ke Australia hanya bisa sampai Indonesia karena mereka hanya mengendarai perahu kecil. Namun sayangnya sebagai negara yang menjadi persinggahan banyak pengungsi, pemerintah belum bisa berbuat banyak dikarenakan Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi sehingga tidak ada UU khusus tentang pengungsi. Yang ada hanya UU no.9 tahun 1992 pasal 3 yang berbunyi, “Setiap orang yang masuk atau keluar Indonesia harus memiliki surat perjalanan”. Sedangkan dari Dirjen Imigrasi mengeluarkan peraturan tanggal 30 Desember 2002 tentang penanganan terhadap orang asing yang menyatakan diri sebagai pengungsi atau pencari suaka, tidak dapat dikenakan sanksi seperti imigran illegal. Namun akan diserahkan kepada pihak UNHCR dan IOM dalam penanganannya hingga penempatan di negara ketiga.
Jadi setiap pengungsi yang saat ini tinggal sementara di Indonesia berada di bawah tanggungan UNHCR dan IOM. Meski tidak akan menetap di Indonesia namun untuk penempatan di negara ketiga sangat terbatas karena negara penerima seperti Australia dan Amerika Serikat mulai sangat membatasi jumlah pengungsi yang diterimanya. Oleh karena itu, akan memakan waktu bertahun-tahun bagi pengungsi dan pencari suaka untuk tinggal di Indonesia sementara. Karena hal ini, IOM kemudian mulai memperhatikan kebutuhan bagi pendidikan untuk  anak imigran. Karena harus pindah dari negara asal dan tinggal sementara di Shelter selama beberapa tahun sampai penempatan, otomatis banyak anak yang terpaksa putus dari sekolah atau bahkan belum mendapat pendidikan sebagai mana mestinya meski mereka sudah terbilang dewasa apalagi UMC atau Unaccompanied Migrant Children alias anak tanpa wali. Anak-anak ini mendapat perhatian khusus baik dari segi fasilitas maupun pendidikan. Beda dengan anak-anak yang berasal dari Community House yang punya orang tua atau keluarga. Untuk kategori anak sendiri berdasarkan konvensi hak anak adalah berumur 0-18 tahun jadi dibawah 18 tahun atau under age disebut UMC sedangkan diatas 18 tahun atau overage sudah bukan anak sehingga harus tinggal di Community House.
Meski dalam mukaddimah UUD 1945 disebutkan dengan jelas salah satu tujuan negara yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi karena pengungsi bukanlah rakyat Indonesia jadi mereka tidak punya akses terhadap pendidikan formal dan program wajar 12 tahun. IOM kemudian berupaya membuat program pendidikan bagi UMC yang sekarang telah berlangsung di tiga region yaitu Jakarta, Medan dan Makassar. Khusus di Makassar, IOM menggandeng Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) yang memang concern masalah anak dan perempuan sebagai vendor untuk program ini. Program ini sendiri diupayakan agar semirip mungkin dengan sekolah formal di Indonesia agar anak pengungsi nantinya bisa paling tidak mengikuti ujian yang setara ujian nasional alias ujian paket. Jadi setiap tutor diwajibkan membuat Silabus dan lesson plan berdasarkan kurikulum terbaru atau K13. Karena aku baru masuk belakangan jadi tidak perlu membuat silabus dan memakai silabus yang sebelumnya telah dibuat oleh tutor lain. Meski begitu sebagian topik  tetap kusesuaikan dengan kebutuhan anak imigran karena pelajaran Sosial Science sangatlah subjektif alias dibuat berdasarkan siapa yang akan mempelajarinya. Karena K13 itu dari Indonesia otomatis pelajaran IPS disesuaikan dengan orang Indonesia dimana yang dipelajari adalah geografi, sejarah dan budaya Indonesia tentunya.
Saat ini kelas sudah berjalan 3 minggu dan sedikit sedih karena meski sebenarnya program ini ditujukan untuk UMC tapi mereka jarang masuk padahal anak dari CH banyak yang masuk. Sampai saat ini, hal itu menjadi masalah terbesar yang selalu berusaha dicari solusinya. Pelajaran kali ini sendiri menggunakan system grade dimana UMC dan CH mengikuti placement test dan mereka akan ditempatkan di grade berdasarkan hasil PT-nya. Dan akhirnya terbagi 4 grade yaitu grade 4,5,7,8 untuk kelas educational yang terdiri atas pelajaran Basic Science, Social Science dan Math. Sedangkan untuk pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia mereka dibagi berdasarkan level yaitu basic, advance dan entermediate. Meski kebanyakan UMC telah berumur hampir 18 bahkan ada yang sudah 18 tahun tapi hanya 2 orang yang ada di grade 7 dan 8 sisanya berada di grade 3,4 dan 5 serta English 0 bagi mereka yang kemampuan Bahasa Inggrisnya masih sangat kurang.
Pertengahan bulan juga sudah diadakan conference meeting antara pihak IOM dengan tutor di tiga region untuk membahas masalah pendidikan bagi anak migrant ini. Yang dibahas terkait metode belajar dan subject yang diberikan masing-masing region. Di Jakarta dan Medan mereka membuat sekolah berbentuk Home Schooling  dimana di Jakarta ditangani oleh Home Schooling kak Seto. Dari hasil konferensi ini yang via skype didapatkan bahwa sebisa mungkin ada silabus yang seragam dan bisa menjadi pakem untuk mengajar di 3 region. Juga kerjasama dengan pihak pemerintah terkait sertifikat pendidikan yang bisa digunakan di Indonesia.
Kembali ke judul tulisan ini bagaimana sih pendidikan yang tepat untuk anak imigran?
Mereka memiliki kondisi dimana mereka tidak akan menetap di negara persinggahan tapi akan ditempatkan ke negara ketiga dan meski begitu butuh waktu lama yang entah kapan bagi mereka untuk bisa ditempatkan. Dan selama menjadi tanggungan mereka tidak bisa mendapat akses ke pendidikan formal serta ke lapangan pekerjaan. Lebih sulitnya lagi karena di Indonesia belum ada aturan resmi tentang pengungsi, maka gerak mereka akan sangat terbatas dan diawasi. Ditambah dengan minimnya semangat mereka untuk sekolah maka lengkaplah sudah. Tapi waktu terus berjalan. Kita saja harus menempuh pendidikan 12 tahun untuk SD-SMA dan lanjut untuk kuliah 4 tahun dan itu bahkan kadang masih belum cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Bagaimana mereka akan bertahan di negara ketiga yang notabene negara maju dengan pengetahuan mereka saat ini?
Kemudian memberi mereka pelajaran seperti kurikulum di Indonesia rasanya juga masih kurang efektif karena mereka akan merasa sedikit bosan apalagi mengingat umur mereka sendiri sudah cukup dewasa untuk mendapat pelajaran seperti anak SD dan SMP. Bahkan kurikulum internasional pun juga sulit karena butuh waktu lama untuk mempelajarinya dan kurang sesuai dengan kondisi mereka saat ini yang akan tinggal cukup lama dengan Indonesia. Serba salah kan? Eh tapi kabarnya UNHCR juga memberikan fasilitas pendidikan tapi sedikit berbayar kepada pengungsi. Dengan guru-guru yang mereka datangkan dari luar negeri. Apalah minceu yang cumah remahan rengginang ini dibanding mereka? Meski punya program yang berbeda tapi upaya kedua lembaga ini untuk memenuhi kebutuhan hak pendidikan bagi anak pengungsi harus diapresiasi.
Kedepannya semoga IOM atau UNHCR bisa membuat sebuah model pendidikan baku yang tepat dan bisa diaplikasikan ke seluruh dunia. Pendidikan itu bukan hanya untuk membantu adaptasi pengungsi di negara persinggahan tapi juga mempersiapkan mereka untuk survive di negara ketiga nantinya. Dan akan ada setidaknya sertifikat pendidikan bertaraf internasional yang bisa diterima di negara manapun dan bisa digunakan untuk mencari kerja. Mungkin harapan ini hampir tidak mungkin karena akan butuh waktu lama dan berbagai konferensi antar negara , penyusunan hukum internasional yang bisa bersinggungan dengan kepentingan negara dan segala kerumitan lainnya. Tapi setidaknya harus ada yang mulai memikirkan masalah pengungsi yang berlarut-larut seperti ini karena perang dan damai adalah 2 sisi koin yang sulit untuk diprediksi. Mereka sudah kasihan karena harus kehilangan rumah dan negaranya tapi setidaknya harus ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik di negara manapun.

Ps : Lagi-lagi tulisan ini masih sangat kurang dan hanya sekedar berbagi pengalaman dan pikiran. Maaf jika ada kata yang salah. Terima kasih sudah membaca 1686 kata ini. Semoga kedepannya bisa membuat tulisan yang lebih berfaedah dan ilmiah.

Ay.

Comments

Popular posts from this blog

Profil Deng Lun

Mumet dengan kerjaan, jadi mau update lagi deh biar fresh. Kali ini aku mau nulis profil salah satu aktor China favoritku. Awalnya mau nulis Yang Yang sih tapi dianggurin aja datanya. Nanti deh. Sekarang soalnya ngebet banget sama si senyum lebar, Deng Lun. Soalnya drama yang dia bintangi tuh oke banget. Ini dia profilnya Nama: Deng Lun Born: October 21 st , 1992 (yes, kami Cuma beda setahun) in Shijiazhuang, Hebei Prov Tinggi: 185 cm Berat: 65 kg Deng Lun merupakan lulusan Shanghai Theatre Academy dan memulai karirnya sejak 2013 dalam Drama TV berjudul “Flowers in Fog” (belum nonton sih) kemudian main di beberapa drama lainnya dan akhirnya karirnya terus menanjak. Aku sendiri jatuh hati sama dia waktu dia main di drama berjudul “Because of Meeting You” yang merupakan drama remake dari drama Korea berjudul “Jang Bo-ri is here”. Di drama ini ia berperan sebagai Li Yunkai, seorang pengacara yang merupakan teman masa kecil tokoh utama perempuan. Perannya yang ceria dan

Itazura na Kiss in all versions

Hajimemashite.. Maaf lagi sok Jepang.. Kali ini aku mau bahas soal salah satu Dorama Jepang yang saking populernya sampe diadaptasi dalam berbagai versi. Eng ing eng.. Itazura na Kiss.. Sudah pada nonton versi apa saja? Tenang aku juga belum nonton semua kok. Tapi bagaimana pun versinya kisahnya Cuma satu yaitu bercerita tentang Seorang cewek SMA yang kurang pintar dari kelas F (disini kelas dibagi berdasarkan kepintaran muridnya dan diurut dari A untuk yang paling pintar hingga F untuk yang paling kurang pintar) bernama Aihara Kotoko yang jatuh cinta dengan orang paling populer di sekolahnya dari kelas A bernama Irie Naoki sejak tahun pertama. Di tahun seniornya, Ia kemudian mengakui perasaannya lewat surat cinta kepada Naoki dan ditolak mentah-mentah dengan alasan Naoki benci gadis bodoh. Pada hari yang sama Kotoko kehilangan rumahnya karena suatu musibah (di setiap serial beda-beda eui musibahnya) dan bersama ayahnya terpaksa menumpang di rumah teman ayahnya yang ternyata adala

Review Cry Me a Sad River

Kali ini mau bahas salah satu film China yang cukup ngena di hati dan bikin ikutan nangis.  Ini dia Profilnya Also known: Bei Shang Ni Liu Cheng He Genres: Friendship, School, Youth, Drama, Melodrama, Tragedy Country: China Release: 30 September 2018 Starring: Ren Min, Xin Yun Lai, Zhao Ying Bo Sinopsis: Yi Yao dan Qi Ming adalah tetangga dan teman masa kecil yang pergi ke kelas yang sama. Murid pindahan Tang Xiao Mi menyukai Qi Ming dan menjadi cemburu dengan hubungan baik Yi Yao dengannya. Dia mengikuti Yi Yao dan menemukan rahasia miliknya. Tang Xiao Mi kemudian menggunakan rahasia ini untuk memulai bullyingnya di sekolah dan semua siswa lain bergabung. Penindasan itu perlahan menghancurkan Yi Yao, sampai Gu Sunxi muncul disampingnya dan membantunya. Namun sebuah tragedi kembali menghancurkan Yi Yao. Comment: #SpoilerAlert Setelah terlalu banyak menonton drama kali ini tertarik nonton film China. Yup, mungkin kita hanya familiar dengan film-film action, kung fu maupun his