Keseringan menonton film dan drama China, Taiwan,
Korea, Jepang serta film-film Barat sepertinya membuatku memandang pesimis akan
film dan drama atau sinetron Indonesia. Maklum beberapa kali nonton di bioskop
pasti harus kecewa. Entah karena ceritanya maupun endingnya. Sudah aku bilang
aku sangat benci dengan sad ending apalagi ending yang menggantung. Tapi entah
kenapa setelah menonton salah satu film hari ini, pandanganku terhadap sineas
Indonesia mungkin bisa sedikit berubah.
Sebenarnya aku tidak dalam kondisi yang prima untuk
menonton. Meski bulan baru tapi karena belum gajian, maka menonton menjadi hal
yang mewah untukku saat ini. Jangankan menonton, untuk makan saja sudah cukup
sulit bagi anak kos sepertiku. Tapi karena seorang teman lama dari Parepare
mengajak dan sedang rindu-rindunya dengan rumah ditambah besoknya hari libur.
Rasanya ajakan menonton tersebut akan sulit untuk kutolak. Padahal hari juga
hujan tapi kami bahkan bersikeras untuk singgah membeli jas hujan. Dan kami
tidak menonton berdua tapi ada satu lagi teman yang ikut.
Sampai di bioskop tepatnya antrian untuk membeli
tiket, kami bingung akan menonton apa karena rencana untuk menonton di Mall
yang lebih besar diganti dengan singgah di Mall kecil yang lebih dekat. Tentu saja
pilihan film yang bisa di nonton juga terbatas. Dan benar saja, berhubung hari
sudah malam jadi hanya tiga film yang bisa di pilih dari 6 studio yang ada.
Empat diantaranya untuk Dilan 1990, satu untuk Maze Runner dan Satunya lagi
untuk Maipa Deapati dan Datu Museng. Aku sebenarnya memilih Maze Runner dengan
seri terbarunya Death Cure karena sudah menonton seri sebelumnya yang meskipun
tidak terlalu special karena mirip-mirip seri Hunger Games tapi karena biasanya
film barat kualitasnya bagus tetap worth it buat di nonton. Untuk Dilan 1990,
meski sekarang sedang booming-boomingnya dengan tagline rindu beratnya yang jadi
quotes kids jaman now hampir dalam semua hal, tetap tidak akan jadi pilihanku
karena aku sudah baca novelnya dan tidak masuk dalam tipe bacaanku yang bikin
aku tidak sanggup membaca novel keduanya meski telah membelinya. Entahlah, aku
mengagumi kang Pidi Baiq lewat lagu-lagunya yang cenderung kritis dan berusaha
untuk menyentil berbagai isu. Tapi Dilan yang ia buat menurutku terlalu gombal
(siap-siap diteror fans Dilan, Peace!). Aku hanya terlalu realistis. Kata-kata
manis saja tidak cukup untuk seorang perempuan. Karena aksi nyatalah yang akan memenangkan
hati dan hidupnya. Dan aku bersyukur ternyata kedua temanku pun tidak ingin
menonton Dilan karena katanya takut baper. Tapi mereka juga tidak terlalu suka
seri barat. Akhirnya pilihan pun jatuh pada Maipa Deapati dan Datu Museng.
Seperti yang kubilang sebelumnya aku selalu pesimis
dengan film Indonesia. Dulu temanku pernah mengajak untuk menonton film ini
tapi tidak jadi karena sudah terlalu larut dan aku bersyukur karenanya karena
memang aku sama sekali tidak berminat untuk menonton film Indonesia di bioskop.
Takut kecewa dan akhirnya buang-buang uang. Apalagi saat hari ini kami sampai
di kasir untuk membeli tiket. Meski sisa 15 menit sebelum film diputar tapi deretan
yang terisi baru A dan B itupun tidak full. Sedangkan C terisi beberapa di
sayap kiri. Akhirnya kami memilih untuk membeli tiket di bagian C sebelah kanan.
Bahkan setelah masuk ke studio deretan di depan kami masih kosong. Sampai film
akan diputar pun hanya beberapa orang yang mengisi. Bagaimana tidak pesimis,
padahal antrian di bioskop untuk membeli tiket cukup panjang. Artinya semua
orang mungkin lebih memilih bertemu Dilan.
Sebenarnya yang juga membuatku pesimis dengan film ini
karena yang berperan sebagai Datu Museng bukanlah orang Makassar dan bahkan
bukan orang Indonesia asli. Tapi Shaheer Sheik yang meski sangat kuidolakan
waktu ia berperan sebagai Arjuna di serial Mahabbharata, namun membuatku kecewa
setelah ia menetap di Indonesia dan mulai aktif di reality show dan berbagai
acara televisi. Belum lagi beberapa sinetronnya yang terkesan maksa karena ia yang
belum lancar berbahasa Indonesia harus dibantu dubbing. Karena film ini tentang
Datu Museng yaitu karaeng terkenal Mangkasara, otomatis yang memerankannya
dituntut untuk bisa berbahasa Makassar paling tidak logatnya. Jadi bagaimana
Shaheer yang bahkan belum lancar berbahasa Indonesia ini berperan sebagai orang
Makassar?
Well, pertanyaan ini pun dijawab oleh filmnya.
Sebelumnya spoiler alert yah. Jadi filmnya dibuka dengan animasi yang
menceritakan Belanda yang sudah menguasai tanah Mangkasara. Selanjutnya seseorang
bernama la Baco kemudian diutus untuk mengirimkan surat kepada Datu Museng yang
berada di Samawa atau Sumbawa mengenai berita tersebut. Lalu scene berpindah
dengan beberapa orang di halaman sedang menyaksikan beberapa gadis yang tengah
berlatih bela diri seperti memanah. Lalu datanglah seseorang berpakaian
compang-camping dan memancing waspada dari semua orang. Tapi Datu Museng
kemudian menenangkan orang-orang dan mempersilahkan agar utusan tersebut menyampaikan
maksudnya. Utusan tersebut segera memberi surat kepada Datu Museng. Setelah
menerima surat Datu Museng segera menemui raja dan meminta izin untuk berangkat
ke tanah Mangkasara melawan penjajah. Sang raja memberi izin kepada Datu Museng
yang merupakan panglima perang di Sumbawa dan mempersilahkan untuk mengajak
serta istrinya Maipa Deapati yang merupakan pewaris kerajaan Sumbawa. Akhirnya
dengan membawa 10 pasukan dan 3 pengawal perempuan, mereka pun berangkat ke
tanah Mangkasara. Di sana mereka diterima dengan suka cita dan mulai mengadakan
perlawanan terhadap penjajah dengan merampok harta yang di bawah pengawal
berdasarkan strategi yang diatur oleh Maipa Deapati yang katanya jago strategi
perang. Datu Museng sendiri punya keris yang sangat kuat, dimana keris tersebut
mampu membunuh banyak orang dalam satu kali tusuk. Lalu Tumalompoa atau salah satu pemimpin VOC
saat itu jatuh cinta pada kecantikan Maipa Deapati dan menghimpun pasukan untuk
merebutnya. Ia mendatangkan banyak sekali pasukan ke Mangkasara untuk mengepung
Datu Museng yang hanya mempunyai sekitar 20 pasukan. Sadar akan jumlah yang
sangat tidak seimbang, Datu Museng pun membesarkan hati pasukannya untuk melawan
sampai mati. Maipa Deapati yang tidak mau jatuh ke tangan Tumalompoa memohon
agar Datu Museng membunuhnya terlebih dahulu. Meski berat hati, Datu Museng
kemudian membunuh Maipa Deapati dan berjanji akan menyusulnya setelah ia
bertempur. Datu Museng melawan habis-habisan hingga ia akhirnya kelelahan dan
terbunuh oleh penghianat. Film diakhiri dengan sebuah peta yang menunjukkan lokasi
matinya Maipa Deapati dan Datu Museng kemudian menjadi nama bagi jalan di
Makassar yaitu Jalan Datu Museng dan Jalan Maipa yang berada tepat di dekat Pantai
Losari. The end.
Jadi menurutku film ini lumayan. Meski bukan salah
satu film terbaik yang pernah kunonton tapi aku sama sekali tidak menyesal
menontonnya. Akting Shaheer Sheik sebagai Datu Museng patut di apresiasi. Meski
sepanjang film sebenarnya cukup terganggu karena semuanya lip synch mungkin
untuk karena Shaheer yang bukan orang Makassar akan sangat susah untuk live. Yang
berperan sebagai Maipa juga lumayan meski diawal ia agak kaku dan meski sangat
berlebihan rasanya disebut secantik bidadari tapi setidaknya wajahnya sangat
Indonesia. Ada juga Ancha yang main di Uang Panai sebagai salah satu pasukan.
Yang sangat mengganggu sebenarnya pakaian ketiga pengawal perempuan Maipa. Film
ini berusaha mengangkat budaya Makassar dengan setiap tokohnya menggunakan baju
adat Makassar terlebih perempuannya yang semuanya menggunakan baju bodo. Tapi
meski tetap memakai baju bodo dengan sarungnya yang dibentuk rok, belahan rok ketiga
pengawal sangatlah tinggi hampir sampai di pinggang (seksi beudh). Tentu saja
hal itu sangat bertolak belakang dengan budaya Makassar yang sopan. Walaupun
mungkin tujuannya agak memudahkan gerakan pengawal yang sering bertarung di
film paling tidak dalaman atau shortnya lah yang harus dibuat lebih panjang.
Yang ini malah hanya setengah paha dan warna kulit pula. Bahkan sampai adegan mereka
matipun hal ini sangat mencolok dan sedikit mengganggu apalagi bagi laki-laki
yang menonton. Mungkin karena inilah film tersebut diberi rating dewasa.
Untuk budaya, film ini sudah berusaha keras mengangkat
budaya Makassar baik dari segi kostum pemain maupun dari beberapa prosesi adat
seperti tarian Passili yang dulunya digunakan sebagai prosesi sebelum berangkat
ke medan perang agar kebal terhadap peluru. Juga beberapa kata-kata yang
diteriakkan Datu Museng dalam Bahasa Makassar yang memang sering digunakan
untuk mengobarkan semangat seperti slogan Ewako. Lalu latar tempat seperti fort
Rotterdam dan Balla Lompoa yang mendukung latar film tersebut dimasa penjajahan
Belanda. Unsur komedi juga sedikit dimasukkan dengan tokoh Ma Ramlah yang bertingkah
laku seperti perempuan. Untuk tokoh Tumalompoanya diperankan Bule dan
aktingnya lumayan dapat.
Untuk cerita sendiri keseluruhan lumayan, meski pun
temanku tertidur ditengah karena ceritanya sedikit datar di bagian tengah.
Menurutku karena plotnya lambat dan terlalu banyak dialog. Animasi yang menarik
seperti bagaimana Mangkasara jatuh di tangan Belanda, peta Indonesia dan
bagaimana perjalanan baik utusan maupun Datu Museng sangat membantu di film ini.
Pengambilan gambar juga cukup baik meski aku agak terganggu dengan pengambilan
sudut menyamping aku tidak tahu istilahnya dalam film tapi misalnya saat ada
dua orang yang bicara dan tidak di shoot secara close up tapi secara menyamping
dan sedikit ditutupi oleh orang yang berdiri di depannya. Juga pemakaian asap pada
saat pertempuran yang tidak terlihat natural sama sekali.
Bagian paling menarik ternyata ada di akhir cerita.
Mulai dari saat keduanya berjanji untuk bersama-sama hidup atau mati. Apalagi
saat Datu Museng akan membunuh Maipa Deapati dan berjanji akan menyusulnya setelah
dhuhur, jika tidak sempat maka Ashar dan jika tidak sempat maka magrib.
Bagaimana Datu Museng mengucapkannya adalah bagian yang paling romantis. Dan
akhirnya cinta mereka abadi dalam nama jalan yang bersisian. Kurang romantis apa
coba? Maka tidak salah jika film ini mengelu-elukan memiliki cerita yang lebih
tragis dari kisah Romeo and Juliet. Soalnya Romeo and Juliet matinya karena sama-sama minum racun. Itupun karena Juliet atau Romeo yang
salah paham dengan pasangannya yang berpura-pura minum racun buat direstui. Eh malah
minum racun beneran. Kan kalo kayak gitu ngenes banget. Akhir bagi film tuh penting banget. Soalnya sebelum nonton ini aku nonton AAC dan meski awal-awalnya cukup menarik tapi endingnya bikin gemes dan kecewa berat. Sama sinetron Indonesia apalagi, never ending story. Hehe
Demikianlah reviewku tentang menonton film Maipa Deapati dan Datu Museng yang mulai membuatku optimis dengan masa depan film Indonesia yang sepertinya bisa lebih berkembang nantinya. Aku menyesal meski sebagai guru IPS terutama sejarah tapi pengetahuanku akan sejarah Indonesia khususnya Makassar masih sangat minim. Nama Datu Museng sangatlah familiar tapi seperti karaeng Patingalloang aku tidak mengetahui sejarah mereka. Aku harus lebih banyak membaca lagi sejarah lokal.
Terakhir maaf jika review ini masih abal-abal. Maklum aku masih berusaha membuat tulisan yang lebih berkualitas. Terima kasih sudah membaca, siapa tau ada lagi yang minat buat nonton kisah cinta Maipa Deapati dan Datu Museng. Selamat Menonton.
Demikianlah reviewku tentang menonton film Maipa Deapati dan Datu Museng yang mulai membuatku optimis dengan masa depan film Indonesia yang sepertinya bisa lebih berkembang nantinya. Aku menyesal meski sebagai guru IPS terutama sejarah tapi pengetahuanku akan sejarah Indonesia khususnya Makassar masih sangat minim. Nama Datu Museng sangatlah familiar tapi seperti karaeng Patingalloang aku tidak mengetahui sejarah mereka. Aku harus lebih banyak membaca lagi sejarah lokal.
Terakhir maaf jika review ini masih abal-abal. Maklum aku masih berusaha membuat tulisan yang lebih berkualitas. Terima kasih sudah membaca, siapa tau ada lagi yang minat buat nonton kisah cinta Maipa Deapati dan Datu Museng. Selamat Menonton.
Yuk tonton trailernya di sini
Ay.
Comments
Post a Comment