Mungkin aku akan menjawab bahwa itu
adalah cita-citaku sejak dulu. Tapi ternyata itu hanya cita-cita masa kecil
karena toh aku menentang kehendak ibuku yang menginginkanku menjadi guru
matematika dengan memilih jurusan hubungan internasional. Matematika memang
andalanku. Teman-temanku mungkin mengenalku sebagai orang yang pintar
matematika sejak sd. Tapi memasuki SMA aku sama sekali asing dengan mata
pelajaran ini. Semua karena tidak ada lagi yang namanya betul-betul belajar. Guru-guru
kadang tidak peduli apa kami mengerti atau tidak, mereka hanya peduli jika kami
bisa membayar dan masuk lesnya. Tapi itu diluar kemampuan keluargaku. Sekolah
di kota saja sudah terlalu mewah buatku, bagaimana mungkin aku menambah beban
dengan les?
Jadilah aku membenci
pelajaran-pelajaran yang butuh les untuk memastikan nilai raporku bagus seperti matematika dan fisika.
Aku kemudian lebih memilih belajar hal-hal yang bisa kubaca dan kumengerti
sendiri seperti pelajaran IPS. Dan akhirnya bisa ditahu, aku berkuliah di HI
berharap bisa menjadi diplomat. Tapi bukankah lagi-lagi nilai IPK yang tinggi
tidak berarti tanpa skill dan koneksi? Hidup memang kejam bukan?
Setelah dengan susah payah lulus
aku tidak bisa langsung mencari kerja Karena harus membantu kakakku menjaga
anaknya. Sembari menjadi pengangguran di kota orang, aku yang sangat merindukan
rutinitas begadang sibuk mengatur kegiatan kemudian mendaftar untuk menjadi
relawan 1000 guru. Dengan berharap 3 hari itu bisa menjadi pengobat rindu.
Meski ternyata kegiatan mengajar Cuma 1 hari, hari lainnya hanya travelling.
Tapi satu hari itu sangat berarti. Aku yang masih pengangguran tergabung dengan
anak kuliahan untuk mengajari kelas 2 SD arti satu nusa satu bangsa. Kami
mengajar dengan memperlihatkan peta dan menunjukkan daerah-daerah di Indonesia.
Meski hanya sekian persen yang bisa kami berikan dan hanya sekian persen yang
anak-anak itu dapat kami sangat bersyukur.
Pulang kembali ke makassar aku
masih berusaha mencari kerja yang sesuai. Aku mendapat pekerjaan pertamaku di
bulan 5 dan tebak jadi apa? Yup menjadi guru alias pengajar untuk bimbel masuk
stan. Pekerjaan itu sekaligus tersingkat yaitu Cuma 6 hari saja karena aku
harus berbagi waktu dengan pengajar yang lain. Aku menyadari menjadi guru itu
sangat sulit apalagi aku tidak pernah terbiasa. Tapi ketika kita mau belajar
percayalah kita akan bisa mengajar. Akhirnya saat kembali ke kampungku aku
mencoba bertahan di sana. Aku kemudian mendaftar menjadi tentor lagi di salah
satu bimbingan belajar yang bercabang di parepare. Mengajar masih menyusahkan.
Terkadang aku sendiri tidak yakin apakah aku guru yang baik dan apakah para
siswa mengerti dan cepat menangkap apa yang kuajarkan. Aku tidak berhenti
berusaha. Aku bertahan selama 4 bulan dengan gaji yang mungkin sangat rendah
tapi bukan itu intinya. Aku mendapat banyak pelajaran dan pengalaman yang
membuatku lebih percaya diri untuk mengajar. Bagaimana tidak, aku mencoba
semuanya. Aku mulai mengajar Bahasa Indonesia tapi saat tidak ada guru ips aku
mengajar ips beserta turunannya sejarah dan ekonomi. Saat tentor Bahasa Inggris
tidak bisa aku malah mengajukan diri untuk menggantikannya. Yah aku mencoba
melalui setiap tingkat dari SD, SMP sampai SMA. Karena aku percaya aku pasti
bisa mengajar jika aku ingin belajar sebelumnya. Aku kecewa dengan beberapa
lulusan pendidikan yang menolak untuk mengajarkan pelajaran lain karena merasa
tidak mampu. Ayolah bukankah pelajaran-pelajaran seperti itu sudah kita lalui
saat sekolah dulu jadi kita cukup bernostalgia dengannya.
Saat akhirnya mendaftar di
pekerjaan yang membutuhkan seseorang dari HI ternyata lagi-lagi tugasnya adalah
menjadi guru IPS. Tapi kenapa cari HI? Mungkin karena yang diajar adalah
orang-orang internasional. Yap mereka adalah anak-anak pengungsi. Saat wawancara,
cerita pengalaman mengajar dan volunteeringku lumayan membantu. Aku kemudian
mendapat satu pertanyaan yang cukup menohok. Kenapa jadi guru? Mana mungkin
kujawab karena tidak ada pilihan lain? Karena aku menolak untuk bekerja di
finance? Jadilah aku menjawab ala pak Anies dengan mengatakan mengajar adalah
hobbyku dan bukankah tanggung jawab setiap orang terdidik adalah mendidik? Yah
saat itu aku menjawab dengan sok bijak tapi mungkin itulah yang meluluskanku.
Dan disinilah aku diuji. Di tempat
bimbel terkadang kita tidak terlalu peduli apakah anak-anak serius belajar
karena toh mereka sudah bayar jadi ketika mereka tidak serius mereka sendiri
yang rugi karena bahkan ketika mereka tidak datang kami tetap dibayar. Tapi
mengajarkan anak-anak pengungsi lain lagi. Mereka sama sekali tidak punya
semangat belajar. Mungkin karena umur mereka sebenarnya sudah dewasa dan kami
mengajarkan pelajaran SD-SMP jadi mereka tidak menganggapnya penting. Bagi
mereka hanya penempatan di negara ketiga yang akan mengubah nasib mereka.
Lagipula ketika mereka tidak datang kamilah yang rugi karena tidak akan
mendapat bayaran. Tapi ini bukan Cuma soal bayaran, aku tidak peduli dengan itu
karena jika aku peduli aku pasti akan menuntuk bayaranku yang selalu terlambat
di bayar. Tapi tidak. Yang kupedulikan adalah apa yang akan mereka bawa ke
negara ketiga? Mau jadi apa mereka setelah sampai disana. Aku selalu bertanya
apa mimpi mereka dan jawaban mereka sama mereka ingin menjadi computer
programmer. Mereka hanya tidak tahu saja untuk menjadi itu harus melalui kuliah
kalkulus yang berlapis.
Terkadang saat tidak ada siswa aku
berpikir untuk menyerah saja. Menjadi guru tidak cocok untukku. Aku tidak bisa
menemukan metode bagaimana membuat siswaku tertarik untuk datang. Bla. Bla.
Bla. Kadang ingin berteriak kepada mereka betapa tidak tahu diuntungnya mereka
yang mendapat banyak fasilitas tapi menyia-nyiakannya. Sementara kami dulu
berjuang untuk sekolah. Tapi semakin kesini aku malah hanya bisa menyalahkan
diriku yang tidak becus. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Bukan mau mereka
untuk berada di situasi seperti ini. Sudah bagus karena setidaknya mereka masih
punya semangat hidup. Dan akhirnya aku hanya bisa berharap mereka mendapat guru
yang lebih baik dariku.
To be continued!
Ay
Comments
Post a Comment