“Festival literasi seharusnya menjadi wadah yang
mempertemukan semua jenis penulis”, kata Kak Kiki di sela-sela perbincangan
mengenang MIWF 2018 yang bikin susah move on.
Mumpung masih bulan Mei jadi masih enaklah
cerita-cerita soal festival yang bikin banyak orang Mei ke Makassar ini.
Makassar International Writers Festival (MIWF) adalah
festival tahunan yang digelar oleh Rumata’ Art Space yang mempertemukan pegiat
dan pecinta literasi. Ada penulis, penerbit, editor, dan pembaca setia
sekumpulan kertas bersampul yang tak lekang oleh waktu. Hehe. Tahun ini MIWF
mengangkat tema Voice/Noice dimana festival ini diharap bisa menjadi menggemakan
suara-suara kritis dari masyarakat di tengah-tengah bisingnya kancah politik
tahun ini dimana di Sulawesi Selatan sendiri akan digelar pemilihan Gubernur
dan Bupati di beberapa daerah. Belum lagi pemilihan presiden dan wakilnya yang
akan berlangsung di tahun 2019 nanti.
Berhubung stay di Makassar jadi aku daftar lagi jadi
volunteer. Pilihnya sih antara program lagi atau LO tapi dapat telepon kalau
divisi apa saja boleh? Akhirnya iya-iya aja dan terpilihlah aku di divisi
Hospitality. Bingung juga sih hospitality itu ngapain aja, setelah dijelaskan
baru paham. Jadi hospitality itu bagian pelayanan eh bukan pelayan yah.
Pokoknya tugas utamanya ada 3 yaitu mengurusi hotel penulis dan pengisi acara,
transportasi dan konsumsi serta merchandise untuk penulis dan baju untuk
volunteer. Karena jumlah volunteer bagian hospitality sedikit, jadi kami bagi
tugas dan aku mendapat jatah mengurusi konsumsi. Untungnya tahun ini ada aturan
baru dimana penulis tidak disediakan makanannya jadi aku cuma mengurusi makanan
untuk volunteer dan beberapa penulis yang masih di tanggung makanannya. Tapi
meski begitu karena aku Cuma sendiri jadinya agak berat juga karena harus
menjatah makanan bagi tiap divisi dan membawakan makanan bila perlu khususnya
security. Namun, jadi apapun di MIWF tetap harus bersyukur dengan pengalaman
dan pelajaran berharga yang tak ternilai.
Kali ini di MIWF tidak ada pre event seperti tahun
lalu, hanya pemutaran film dan diskusi malam sebelumnya dipandu oleh kak Riri
Riza yang disebut taman cinema. Taman-taman yang lainnya juga ada yaitu Taman
Rasa yang berisi berbagai tenant makanan dan minuman enak nan kekinian serta
taman baca, lapakan buku dari beberapa perpustakaan atau komunitas baca di
Makassar. Taman Rasa kali ini lebih meriah dari tahun lalu karena tenantnya
lebih banyak serta lebih instagramable dan picnic-able. Untuk program sendiri
lebih banyak dari tahun lalu serta penulis yang lebih beragam. Karena tidak
hanya mengundang penulis-penulis tersohor dalam sastra seperti Ayu Utami, Leila
S. Chudori dan lain-lain tapi juga penulis yang tengah digandrungi saat ini
seperti Fiersa Besari, Boy Candra, Ziggy, Syahid Muhammad, Stefani Bella dan
lain-lain yang belum punya jam terbang tinggi di dunia literasi. Tapi yah
seperti yang dibilang kak Kiki itulah gunanya MIWF, tidak boleh membeda-bedakan
penulis karena semua punya pembacanya sendiri. Dan benar saja, tahun ini
peserta cukup membludak karena kalangan anak kemarin sore pun datang untuk
menikmatinya. Bagus untuk kelangsungan dunia literasi.
Jadi lagi-lagi karena kesibukan mengurus makanan, aku
jarang mengikuti program MIWF apalagi di jam-jam makan siang dan malam. Tapi
namanya juga tanggung jawab. Meski begitu ada beberapa event dan program yang
sempat kuikuti. Dihari pertama mengikuti Program Travel Writing Workshop yang
dibawakan oleh mbak Windy Ariestanty. Pas baca namanya kok kayak akrabnya. Ternyata
mbak Windy ini adalah penulis Kala Kali (Salah satu novel gagas duet). Dan
sekarang senang menulis buku tentang traveler. Workshopnya sangat menarik
karena mbak Windy mengajarkan bagaimana menuliskan perjalanan yang tidak hanya
soal destinasi foto upload semata. Tapi bagaimana berinteraksi dengan
masyarakat sekitar dan mengetahui sejarah tempat yang dikunjungi serta kuliner
khas disana. Mbak Windy menceritakan tentang pakaian kulit kayu yang melekat
dengan sejarah orang Bada yang disanalah layang-layang pertama berasal dan
mengubah sejarah laying-layang yang katanya berasal dari China juga tentang
situs-situs megalitik yang ada ratusan tahun lamanya. Beda lagi dengan kisah
orang kamboja yang suka makan serangga karena merupakan hasil hutan utama
mereka. Dan banyak lagi kisah-kisah menarik lainnya yang ia temukan dalam
perjalanannya.
Di hari kedua menemani teman ke program talkshow di
Chapel karena ia ingin melihat Fiersa Besari meski aku sendiri belum pernah
baca bukunya. Hanya sekilas mengkepoi ig nya karena suatu hal dan membaca
quotesnya yang selalu dibagikan oleh teman yang lain. Selain Fiersa ada
beberapa penulis lain dan dipandu oleh kang Maman Suherman. Intinya sih tentang
social media, aku Cuma sebentar soalnya masuk waktu makan siang.
Hari ketiga lagi-lagi seorang teman datang untuk
melihat Fiersa Besari di Chapel yang akan meluncurkan buku terbarunya yang
berjudul Arah Langkah. Kali ini aku tidak ikut masuk karena dia sudah lebih
dulu menitipkan adiknya untuk dijaga sementara ia menonton Fiersa. Aku suka
anak kecil tapi adik temanku sangat hyperaktif dan bikin aku cukup kewalahan menjaganya.
Ia tidak mau duduk diam, tapi berlarian kemana-mana, dari tenda panitia ke
tenant-tenant, ke program di bawah chapel, ke tangga hingga naik ke beranda
Chapel yang dipenuhi oleh orang-orang yang berdiri karena tidak dapat tempat. Ngerinya
dia sampai masuk ke bawah kaki-kaki orang yang berdiri itu sampai hampir
terinjak. Aku ikut jongkok dan berusaha menariknya keluar hingga jadi perhatian
semua orang disana. Pokoknya salah satu hari paling melelahkan.
Hari keempat aku dapat me time lagi dengan mengikuti
program ruang bersama : the Chinese whispers yaitu tulisan yang dibuat oleh Mbak
Rani dan diilustrasikan oleh mbak Cindy hingga akhirnya dibuatkan film animasi.
Cukup unik karena kita menontonnya per babak secara online dan penonton di ajak
merasakan kembali kerusuhan Mei 1998 yang ternyata mendiskriminasi orang china
di Indonesia dan hingga kini memberi gap dalam kehidupan sehari-hari antara orang
asli dan china baik di sekolah maupun dalam pekerjaan. Tulisan ini dibuat oleh
mbak Rani berdasarkan pengalamannya yang harus pindah ke Australia pasca
kerusuhan tersebut. Selain itu ada juga mbak Yolanda Yu yang menceritakan
pengalamannya sebagai pendatang China di Singapura yang juga sering mendapat
diskriminasi. Mungkin karena terbawa suasana akan kisah yang tragis maka
seluruh peserta dalam ruangan pun menangis selama diskusi ini. Aku sendiri
sangat tertarik dengan instalasi labirin yang pernah dibuat untuk film ini
dimana orang-orang berpindah dan menonton sendiri dalam labirin. Pasti sangat
menarik.
Selain program yang kuikuti sebetulnya sangat banyak
program menarik selain launching buku tentunya. Ada klinik Bahasa yang
dibawakan oleh Uda Ivan Lanning, ada program-program ruang bersama, ada a cup
of poetry, ada program anak, ada pertunjuakan teater polyglot yang terkenal dan
satu lagi yang unik adalah jasa pengiriman mimpi Lala Bohang bekerja sama
dengan GO-Jek Indonesia. Uniknya kita akan masuk ke sebuah rumah pos dimana di
dalamnya ada Lala Bohang dan seorang juru ketik berpiyama. Di sana kita
menceritakan tentang mimpi dan siapa yang ingin di kirimkan. Dari situ akan
dibuatkan kata-kata ajaib oleh Mbak Lala dan diketik dengan mesin tik kemudian
suratnya dimasukkan dalam botol dan diantarkan oleh bang gojek ke alamat
tujuan. Yang lucu adalah kisah-kisah orang-orang yang menerima surat tersebut.
Sampai ada yang menganggapnya sebagai prank. Haha. Untuk panggung malam ada
bintang tamu keren seperti Sha Ine Febrianti yang membawakan monolog Cut Nya
Dien. Dan pada nyesel semua gak sempat foto bareng padahal Shainef terpilih
memerankan Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia. Ada juga mbak Najwa Shihab
dengan pidato kerennya.
Aku mungkin merindukan menjadi penjaga absen dan
penyedia air minum di divisi event dan program tapi ternyata menjadi Anti
Konsumsi tidak terlalu buruk, aku masih bisa mengikuti program, menginap di
hotel (hehe. Jangan salah paham, anak hospitality jam terbangnya gak kenal
waktu apalagi anak transpotasi yang sering harus mengantar tengah malam dan
dini hari jadi kami disediakan hotel untuk beristirahat), serta disegani oleh
volunteer lainnya karena dianggap mama mereka yang suka ngasih bahkan maksa
buat makan. Pokoknya MIWF bagiku adalah
candu. Candu untuk kembali menjadi volunteer. Tahun depan mungkin mencoba
divisi lain. Lumayan menambah pengalaman baru.
Comments
Post a Comment