Kali ini program untuk pengungsinya lain lagi. Berhubung
hanya 1% dari mereka yang punya kepastian resettlement setiap tahunnya otomatis
99% nya akan tinggal di Indonesia untuk kurun waktu yang tidak bisa ditentukan.
Bisa setahun, 2 tahun, bertahun-tahun bahkan mungkin selamanya (semoga aja
nggak). Jadi kali ini IOM buat program pelatihan bahasa bagi pengungsi. Selain
untuk mengisi waktu bisa buat bekal mereka selama stay disini dan juga bekal di
kemudian hari.
Ada
2 bahasa yang diajarkan yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kalau bahasa
Inggris diharapkan bisa jadi bekal buat mereka terbiasa saat penempatan nanti.
Kali ini mencakup banyak akomodasi meski belum semuanya. Tapi sayang sifatnya
volunteering alias seiklasnya bagi yang bisa dan mau saja. Yah tipikal orang
Indonesia yang paling suka berbagi meski volunteering tetap juga banyak yang
daftar. Aku sendiri memilih untuk mengajar bahasa Indonesia soalnya bisa
sekalian pake bahasa Inggris juga. Tapi alasan sebenarnya aku belum cukup pede
dengan kemampuan bahasa Inggrisku. Soalnya kebanyakan pengungsi sudah sangat
lancar englishnya. Wong itu bahasa sehari-hari mereka berinteraksi baik dengan
teman beda negara ataupun kita yang orang Indonesia. Beberapa pengungsi malah
jadi ticer (baca: teacher) bahasa Inggris bagi rekan senegaranya.
Kali ini aku ditempatkan agak jauh di Pondok Nugraha.
Padahal ngarepnya di Perintis saja biar aku gampang perginya. Pasalnya kalau ke
Nugraha itu aku harus pake pete2 (angkot) 07 sampai ujung terus nyambung pake
ojek online. Itu agak hemat duit tapi boros di waktu. Soalnya pete2 itu
jalannya bisa lelet banget. Belum lagi macetnya Pettarani akibat pembangunan
jalan layang. Kadang aku harus menempuh waktu sampe 1,5 jam buat sampe.
Seringnya telat sih. Sayangnya akomodasi di perintis tidak ada yg diisi
program, soalnya udah lancar banget kelasnya dari mereka-mereka sendiri.
Nugraha sendiri termasuk akomodasi terbesar dan terluas (4 lantai dengan jumlah
kamar mungkin mencapai 3 digit) jadi butuh banyak pengajar. Aku sendiri selama
program sebelumnya hanya mengenal Nugraha dari laporan yang kukerjakan.
Setelah pembagian akomodasi selanjutnya adalah kunjungan ke
akomodasi sekaligus perkenalan kelas didampingi oleh penanggung jawab akomodasi
dari IOM dan compac. Jadi selain tutor bahasa, di program kali ini juga ada
volunteer yang jadi community facilitator yang disingkat compact. Mereka ini
tugasnya buat mengisi peran konseling kayak guru BK gitu ke imigran dan
sebenarnya sebatas konseling masalah selama kegiatan belajar mengajar. Ternyata
teman-temanku yang sebelumnya mengajar di program UMC pada daftar buat jadi
compact aku doang yang daftar jadi guru lagi. Apes deh. Soalnya kupikir compact
itu cuma buat yang latar belakangnya psikologi doang ternyata bebas aja. Tapi
jadi guru tetap lebih menantang dong.
Saat ke Nugraha ternyata kelasnya di lantai 4 dan weits
dekat dengan dapur. Huahaha.. bisa sekalian liat mereka masak. Awalnya aku
pikir peserta yang akan diajar adalah anak-anak atau remaja seperti di Wisma
Maysarah ternyata kebanyakan malah udah tua. Meski masih ada juga yang usia
20an. Tapi lumayan bisa nambah pengalaman baru. Alhamdulillah pas perkenalan
mereka cukup welcome dan antusias dengan upcoming kelas.
Minggu berikutnya adalah minggu pertama buat mengajar. Kali
ini jadwalnya cuma sekali seminggu tiap kelas dengan alasan volunteer pada
punya jadwal yang lain padahal aku mah lagi kosong melompong cuman mau hemat
aja berat ongkos perjalanannya. Sebelum mengajar diputuskan buat placement test
dulu biar tau sejauh mana kemampuan pengungsi baik english maupun bahasa. Aku
mengambil soal dari temanku yang pernah mengajar bahasa. Lumayan yang ikut PT
ada 20-an orang dan kelas pun penuh. Hasil placement test bahasa menunjukkan
kalau mayoritas masih tidak bisa menulis dan membaca bahasa indonesia jadi
semuanya masuk kelas pemula dan dibagi jadi 2 kelas dengan masing-masing punya
durasi 1 jam. Untuk program kali ini syarat ketuntasan pengajaran adalah musti
ngajar 100 jam total. Gila bakal butuh setahun lebih buat selesai.
Untuk pelajaran pertama aku mengajarkan mereka mulai dari
abjad dan nomor soalnya penting banget buat membedakan penyebutan dalam english
dan indonesia meski sama-sama pake huruf latin. Buat buku pegangan aku memakai
Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) yang dikeluarkan oleh kemendikbud.
Bukunya lumayan tapi cuma dalam bahasa Indonesia dan kategori anak sekolah.
Padahal yang kuajar sudah adult semua. Udah ubek-ubek gugel buat nyari handbook
bahasa yang english-Indonesia buat adult tapi belum nemu-nemu yang cocok.
Makanya buat sekarang masih pake BIPA dengan catatan cuma mengambil temanya aja
bagaimana mengajarnya dikreasikan sendiri.
Tantangan pertama mengajarku adalah para pengungsi ngarep
buat mereka masing-masing di kasih handbook yang bisa mereka isi. Tapi yang di
provide IOM cuma toolkit buat ngajar kayak spidol, penghapus dan kertas. Itu
pun aku gak punya printer. Akhirnya korban dikit buat nge print bahan ajar buat
mereka meski kadang-kadang copyan nya kurang, kadang-kadang malah mubazir
karena dinamika peserta yang datang naik turun. Terus ketiadaan handbook bikin
siswa suka gak ingat pelajaran minggu kemarin jadi harus ektra menjelaskan
kalau ditanyain lagi. Kertas selembarnya gak mereka simpan. Hiks
Tantangan selanjutnya saat bulan hujan dan banjir melanda.
Aku jadi males dan takut buat ngajar jadi ada waktu dimana kelasku gak diisi
terus. Peserta yang tadinya banyak menurun drastis pas aku masuk lagi. Untung
sekarang ada pengajar yang lain jadi kapan pun aku berhalangan dia bisa masuk
dan malah dia lebih sering masuk sekarang. Yang penting para peserta masih
belajar. Agak takut juga sih kalau mulai di bandingin siapa yang lebih baik.
Program volunteering ini sudah jalan di bupan kelima
sekarang tapi aku udah gak ngitung lagi udah berapa jam total ngajarku. Yang
penting aku masuk. Kasian juga liat pengungsi yang gak punya kesibukan karena
aturan mereka gak boleh kerja dan terbatasnya akses untuk sekolah bagi
anak-anaknya. Belum lagi tidak ada kepastian kapan mereka bisa ke negara
ketiga. Nasib pengungsi seperti makan buah simalakama. Buat mereka pulang
kembali akan berhadapan dengan teror dan ketakutan akan konflik berkepanjangan
tanpa penyelesaian sedangkan tinggal di negara transit malah membuat masa depan
mereka menjadi tidak pasti. Tapi mau bagaimana lagi kita sebagai orang
Indonesia pun hanya bisa menolong semampu yang kita bisa. Meski tidak
menandatangi konvensi tentang pengungsi dan bahkan sama sekali tidak punya aturan
tentang pengungsi, presiden telah mengeluarkan perpres untuk melegalkan
keberadaan mereka di Indonesia daripada sekedar di cap orang asing dan harus
dipulangkan trus malah bikin kita melanggar prinsip non-refoulment. Tapi
memberikan akses penuh terhadap pendidikan dan pekerjaan juga ditakutkan akan
menimbulkan konflik dan menambah beban negara yang masih berusaha memberikan
pendidikan merata bagi seluruh rakyatnya serta mengurangi jumlah pengangguran
yang terus bertambah. Kan serba salah jadi pemerintah.
Intinya sih aku berharap di masa depan masalah pengungsi
bisa diselesaikan secara global. Soalnya setiap anak punya jangka umur sekolah
dan menjadi pengungsi telah merampas hak mereka untuk mendapat pendidikan yang
layak. Masa kecil dimana mereka harusnya tumbuh dengan menikmati lautan ilmu
pengetahuan seluas-luasnya malah jadi masa kecil penuh tanda tanya akankah
mereka punya masa depan. Kita saja yang sekolah dari jenjang SD sampai kuliah
masih susah cari kerja, bagaimana mereka?
Ay!
Comments
Post a Comment