Latar Belakang Terjadinya
Konflik Ukraina
Digulingkannya presiden
Viktor Yanukovych sebagai akibat dari krisis yang terjadi di Ukraina beberapa
tahun terakhir menjadikan hubungan Bilateral Ukraina-Rusia memanas seiring
dianeksasinya Crimea kedalam wilayah territorial Rusia. Ketegangan serupa juga
nyaris muncul bersamaan dengan terjadinya ”Revolusi Oranye” pada November 2004 yang
membawa kelompok pro-Eropa Barat pimpinan Viktor Yushchenko dan Yulia
Tymoshenko mengungguli kelompok pro-Rusia pimpinan Yanukovych.
Setelah Yushchenko
menjabat sebagai presiden Ukraina, semangat untuk membawa Ukraina bergabung
dengan Uni Eropa dan NATO dikumandangkan. Namun setelah sepuluh tahun berlalu,
cita-cita ”Revolusi Oranye” belum juga dapat dipenuhi. Konflik internal yang
terjadi di dalam tubuh kelompok pro-Eropa Barat membawa Yanukovych dan kelompok
pro- Rusia kembali ke panggung politik Ukraina, hanya dua tahun setelah
terjadinya ”Revolusi Oranye” dan otomatis kembali mengubah halauan kebijakan
luar negeri Ukraina.
Selain disebabkan perpecahan
pada level internal, belum berhasilnya Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa
dan NATO juga disebabkan oleh kuatnya resistensi Rusia. Ukraina dan
negara-negara pecahan Uni Soviet merupakan wilayah vital bagi Rusia.
Sebagaimana disebutkan di dalam Konsepsi Kebijakan Luar Negeri Federasi Rusia
tahun 2013, upaya untuk membangun kemitraan dengan negara-negara pecahan Uni
Soviet yang tergabung di dalam Commonwealth
of Independent States(CIS) dalam wilayah ekonomi maupun politik dan
keamanan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan luar negeri Rusia.
Secara khusus, dokumen tersebut me-nyebutkan keinginan Rusia untuk melibatkan
Ukraina dalam proses integrasi ekonomi Eurasia seiring dengan gagasan besar
Rusia untuk membentuk Eurasian Economic Union. Dalam wilayah politik dan
keamanan, Ukraina dan negaranegara pecahan Uni Soviet merupakan salah satu
poros utama kebijakan luar negeri dan keamanan Rusia. Sudah sejak lama Rusia
menentang keras upaya Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.
Pasca terjadinya krisis di Kiev, sekelompok pasukan
bersenjata tak dikenal memasuki wilayah Crimea dan mengambil alih daerah
tersebut. Meski Rusia berdalih ini bukan pasukannya, namun permintaan Presiden
Putin kepada parlemen untuk mengirimkan menempatkan pasukannya di Crimea
menjadi bukti tersendiri. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan mengapa Rusia
menempatkan pasukannya di Crimea dan memancing kemarahan pemerintah Ukraina
sementara krisis yang terjadi di Kiev secara geopolitik jauh dari Crimea.
Referendum 16 Maret 2014 kemudian terlaksana di Crimea
dimana 97,67% rakyat Crimea memilih untuk keluar dari Ukraina dan bergabung
dengan Rusia. Tentu saja hal ini banyak mendapat pertentangan karena dianggap
melanggar konstitusi Ukraina dan Hukum Internasional. Dimana konstitusi 1992
Ukraina menyatakan :
“the
question of changing the territory of Ukraine can be resolved only by national
referendum (Article 73 of the Constitution)"[1]
Berdasarkan hal ini, referendum
Crimea tidak sesuai dengan konstitusi Nasional yang berlaku di Ukraina dimana
yang terjadi hanya rakyat Crimea yang melaksanakan referendum. Organisasi
Internasional seperti PBB juga telah membahas hal ini pada Sidang Umum PBB 27
Maret 2014 dengan topik “Territorial
Integrity of Ukraine” dan menghasilkan resolusi A/RES/68/262 yang
menyatakan bahwa referendum Crimea adalah Ilegal dimana 100 negara setuju, 11
menolak dan 58 abstain.[2]
Sejarah Masuknya Crimea dan
Sevastopol ke Ukraina
Ukraina secara harfiah berarti “tanah perbatasan”. Negara
ini memiliki komposisi suku yang unik. Barat Sungai Dnieper dihuni keturunan
Ukraina. Sementara, di timur dan selatan (termasuk Crimea) banyak ditinggali
orang keturunan Rusia, yang masih teguh menjalankan budaya serta bahasa tanah
leluhur. Meski jumlah warga keturunan Ukraina (70% dari populasi) lebih banyak,
keturunan Rusia (17% dari populasi) yang tersebar di bagian Timur Ukraina
seperti Crimea, Donesk, Luhanks dan Karkiv.
Sejarah Sevastopol yang
merupakan bagian dari Crimea berkaitan erat dengan Rusia. Sejak tahun 1948,
Sevastopol mendapatkan status kota istimewa dari pemerintahan Republik Sosialis
Federal Soviet Rusia, bagian dari Uni Soviet. Tahun 1954, pemimpin Soviet saat
itu Nikita Khrushchev memberikan Sevastopol dan seluruh Crimea kepada Republik
Sosialis Soviet Ukraina yang masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Awal 1990an,
Ukraina menjadi negara merdeka. Crimea menjadi bagian dari Ukraina. Di bawah
Traktat Persahabatan, Kerja Sama dan Kemitraan Moskow-Kiev tahun 1997, Rusia
mengakui status kepemilikan Sevastopol dan kedaulatan Ukraina. Sebagai
balasannya, Ukraina memberikan Rusia hak untuk terus menggunakan pelabuhan
Sevastopol bagi armada laut mereka sampai tahun 2017.
Perjanjian awal izin
Armada Laut Hitam di Sevastopol berlangsung untuk 20 tahun. Perjanjian ini
otomatis diperpanjang lima tahun kecuali salah satu pihak membatalkannya.
Perjanjian kedua, ditandatangani di Kharkiv tahun 2010, memperpanjang
penggunaan pelabuhan Sevastopol untuk armada Rusia hingga 2042. Rusia membayar
Ukraina US$98 juta per tahun untuk menyewa pangkalan laut di Crimea. Selain
itu, berdasarkan perjanjian Kharkiv, Rusia akan memberikan potongan harga gas
US$100 per ton.
Rusia terpaksa
menggunakan pelabuhan Sevastopol karena tidak ada pelabuhan di negaranya yang
mampu menampung Armada Laut Hitam. Pelabuhan Rusia di Novorossiysk tidak cukup
dalam dan kurang infrastrukturnya. Armada Laut Hitam Rusia terdiri dari 388
kapal perang Rusia, termasuk 14 kapal selam diesel. Selain itu, ada 161 jet
tempur di pangkalan udara yang disewa Rusia di Gvardeiskoye (sebelah utara
Simferopol) dan Sevastopol. Total ada 25.000 personel militer Rusia di Crimea,
belum termasuk staf sipil. Jika dihitung juga keluarga mereka yang ikut tinggal
di komplek militer Crimea, total ada lebih dari 100.000 orang.
Kepentingan
Rusia dalam Konflik Ukraina
Melihat bagaimana Rusia
terlibat aktif dalam konflik yang terjadi di Crimea, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Rusia memiliki banyak kepentingan di negara ini. Dimana letak Ukraina
secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia. Menurut Hans J. Morgenthau:
”Kepentingan
nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan
identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan
ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain
yang sifatnya kerjasama atau konflik”.
Dari konsep ini bisa dilihat bagaimana
Rusia mencoba untuk melindungi 60% warga Crimea yang merupakan etnis Rusia yang
dianggapnya mendapat perlakuan diskriminasi dari Kiev karena penggulingan
Presiden Yanukovych tidak disetujui oleh Crimea dan sebagian daerah timur lain
di Ukraina.
Namun, sebagian orang
menganggap hal tersebut hanyalah kamuflase dan sering dihubung-hubungkan dengan
doktrin Breshnev pada masa Uni Soviet. Doktrin ini menyatakan tentara Uni
Soviet baik dengan diminta atau tanpa diminta oleh negara-negara Eropa Timur, akan
masuk kenegara Eropa Timur apabila terjadi situasi dalam negeri yang kritis di
negara Eropa Timur yang bersangkutan. Doktrin Breshnev digunakan secara
besar-besaran pada saat terjadi krisis di Cekoslovakia yang intinya Eropa Timur
selalu dikonsepsikan sebagai daerah pengaruh Rusia. Doktrin ini juga nampaknya
masih digunakan untuk menghadapi negara negara bekas pecahan Uni Soviet di Asia
Tengah, khususnya Khazakstan dimana peluru-peluru Balistik Antar benua
diletakkan.
Selain itu alasan lain
adalah bahwa Ukraina merupakan negara penting yang dijadikan Rusia
sebagai transit minyak dan gasnya
yang akan disalurkan ke negara-negara Eropa Barat, 80% ekspor gas Rusia ke
Eropa Barat adalah lewat Ukraina. Krisis yang terjadi di Kiev akan mengancam kerjasama Ekonomi antara Rusia dan
Ukraina. Rusia akan sulit untuk menempatkan pipanya di Ukraina. Untuk konteks
Crimea, Rusia akan sangat diuntungkan dengan dianeksasinya Crimea ke dalam
teritori Rusia, dimana Rusia tidak perlu lagi membayar membayar sewa atas
Sevastopol yang menjadi tempat pangkalan militer laut hitam milik Rusia.
[1] Legal
vacuum at the Ukrainian constitutional court
(http://rt.com/op-edge/ukraine-constitutional-court-legal-vacuum-117/), diakses
pada 20 Mei 2014.
[2]
http://www.cfr.org/territorial-disputes/un-resolution-res68262-territorial-integrity-ukraine/p32709,
diakses pada 20 Mei 2014.
Daftar
Pustaka
Buku
:
Morgenthau, H. J. (1951). In Defense of
the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy. New
York: University Press of America.
Viter, et. all, Olena. “Ukraine:
Post-Revolution Energy Policy and
Relations with Russia,” (London:
GMB Publishing Ltd, 2006)
Online
:
http://www.koran-sindo.com/node/372615
(Diakses pada 20 Mei 2014)
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/485860-ini-sejarah-sevastopol-di-crimea--wilayah-ukraina-berbau-rusia
(Diakses pada 20 Mei 2014)
http://www.cfr.org/territorial-disputes/un-resolution-res68262-territorial-integrity-ukraine/p32709
(Diakses pada 20 Mei 2014)
http://www.securitycouncilreport.org/monthly-forecast/2014-04/ukraine.php?print=true
(Diakses pada 20 Mei 2014)
bagus penulisan, mungkin bole dipertajamkan lagi dgn faktor2 terjadinya krisis ini
ReplyDeleteMakasih udah baca dan makasih jg tanggapannya. Tulisan ini sebenarnya tulisan lama alias tugas kuliah yang akhirnya di upload disini. Makanya masih banyak kurang sana sini. Sekarang malah gak prrnah nulis yg berbau HI.
Delete