Kelompok
III
Nur Wahidah Gau E131
11 011
Alisan Angela E131 11 274
Waode Rindang A. E131
11 003
Rara Anugerah E131
11 261
Yulianti Asyik E131
11 266
Mukhlisa Nuradini E131
11 101
Atri Ulya E131
11 014
Dalam
Bidang HAM
Dalam
perkembangan politik luar negeri Amerika Serikat yang bersifat fluktuatif,
terlihat berbagai perkembangan yang sangat signifikan sejak perkembangan
politiknya setelah pasca perang dunia II. Seteleh perang dunia ke II ,
pergeseran politik Amerika semakin terlihat mengarah kepada outside dimana
kebijakan Amerika lebih mengarah pada kepentingannya di kancah dunia
internasional.Perang dingin telah menjadi suatu pondasi awal dalam banyak
kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika mulai dari daerah Amerika Latin
sampai pada daerah Asia. Sudut pandang tersebut telah membangun banyak politik
luar negeri Amerika.
Hubungan bilateral antara AS dan China merupakan hal penting, melingkupi pada berbagai bidang antara lain,
kebijakan ekonomi, keamanan, hubungan
luar negeri, termasuk HAM. Berbagai bentuk
kebijakan AS yang dibuat untuk menanggapi kasus HAM Tibet, yang secara khusus
berdampak terhadap kondisi hubungan bilateral kedua negara. Pentingnya China dalam ekonomi
global, keamanan, lingkungan,
dan hal-hal lainnya telah
berkembang, baik
Pemerintahan Bush dan Obama bertujuan untuk menjalin kerjasama bilateral di
berbagai bidang, sementara
AS sangat tidak setuju dengan Beijing
pada
banyak isu-isu HAM.
AS tidak dapat serta merta
mengakhiri hubungan bilateralnya dengan China akibat dari konflik ideologi yang
mereka miliki atas HAM. AS mengakui kepentingannya atas keberadaan China dalam
interaksi dan dinamika internasional. Misalnya saja, hak veto yang dimiliki
China di PBB. Pengambilan keputusan PBB yang diakui banyak diarahkan dan
terpengaruh oleh kebijakan AS, dapat terhambat dengan kepemilikan hak veto
tersebut.
Sebelumnya
dalam The Tibetan Policy Act of 2002 yang dikeluarkan sebagai bentuk
kebijakan AS dalam kasus HAM Tibet, mengarahkan Cabang Eksekutif AS untuk
mendorong pemerintah China untuk ikut serta berdialog dengan Dalai Lama atau
wakil-wakilnya, panggilan untuk pembebasan tahanan politik dan agama Tibet di
China, mendukung pembangunan ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian
lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet, dan melaksanakan kegiatan lain demi
"mendukung aspirasi rakyat Tibet untuk melindungi identitas mereka. China
memperlihatkan ketidaksenangannya terhadap campur tangan AS.
Secara
politik, hubungan bilateral AS dan China terus berusaha diupayakan untuk
berjalan sesuai kesepakatan yang telah mereka putuskan. Terbukti dengan tetap
ada inisiasi dan respon positif kedua negara untuk terus melanjutkan pertemuan
dan kongres khusus yang membahas hubungan kedua negara secara bilateral dengan
lebih terbuka. Pergantian pemerintahan di AS pun, diharapkan dapat memperbaiki
kekurangan-kekurangan dan mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi antara
AS dan China.
Pemerintah Cina pun menganggap bahwa HAM
haruslah mencakup pada kepuasan hidup
dan kemajuan ekonomi,
makanya dengan konsep
yang dianut oleh
Cina dijadikan sebagai
landasan mereka untuk
kebijakan yang menurut
dunia internasional khususnya Amerika, telah
melanggar HAM warganya.
Ditambah lagi dengan
ajaran Konfusianisme yang banyak
dianut masyarakat Cina
dan disebut-sebut mempunyai
andil yang besar terhadap pola
pikir Cina. Sayangnya
ajaran Konfusianisme ini
tidak memiliki kajian tentang HAM
dan kedudukan setiap
individu, dimana hal tersebut menjadi
nilai utama dalam konsep HAM
secara universal.
Amerika
sebagai negara yang
bertujuan untuk menstabilkan keamanan dunia
ikut serta dalam memperbaiki
HAM di Cina.
Duta besar Amerika
Serikat untuk Cina
Gary Locke menilai bahwa
catatan HAM di
Cina memburuk karena
rezim komunis Cina terancam
dengan munculnya demonstrasi
pro-demokrasi. Ia mengatakan
bahwa proses penegakan HAM
di Cina naik
turun, namun dalam
beberapa periode, proses
penegakan HAM itu tampak
memburuk. Amerika mendukung kaum
liberalis Cina untukmenyuarakan banyaknya pelanggaran HAM di
sana.
Keberadaan Amerika
sebagai negara yang
lebih dahulu besar
dan kuat dibanding
dengan Cina, menjadikan Cina memilih untuk menjalankan pemerintahan
dengan ideologi yang berbeda dengan
Amerika, begitu pula
dengan masalah HAM.
Apa yang dilakukan Amerika sebenarnya
merupakan wujud perhatian
Amerika terhadap apa
yang dilakukan Cina. Sementara
Cina sendiri tidak
pernah beranggapan bahwa
apa yang dilakukannya merupakan pelanggaran, sebab
dengan kebijakan yang dikeluarkan akan menjadikan Cina sebagai negara utuh,
yang memiliki kesamaan dan bangkit bersama-sama.
Amerika
sebagai negara adi
kuasa memiliki tujuan
dimana setiap manusia mendapatkan hak mereka
masing-masing. Terlihat bahwa
Amerika sangat mendukung mereka yang tidak mendapatkan
haknya tersebut. Apalagi Amerika yang menganut sistem liberal
mempunyai pandangan yang
mengedepankan kebebasan setiap
orang. Dengan demikian, setiap
manusia diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal. Cina
memiliki pandangan lain
mengenai HAM. Dalam International Human Rights
Conventions in China dinyatakan bahwa konsep
HAM harus mencakup
langkah-langkah kesehatan dan
kemakmuran ekonomi, serta
standar ekonomi hidup. Dalam
budaya konfusianisme dikatakan
bahwa harmonisasi dan keamanan nasional akan dicapai melalui penghormatan kepada kelompok, bukan individu. Sehingga
Cina menganggap HAM bukanlah untuk hak individu melainkan hak kelompok dan
bersama.
Amerika sebagai negara yang besar tidak
ingin dominasinya di dunia tersaingi oleh negara manapun.
Hal inilah yang
mendasari Amerika untuk
melakukan campur tangan dengan
alasan kebijakan yang
diambil tersebut telah melanggar
konsep HAM secara universal oleh
pemerintah Cina terhadap warganya.Amerika mendukung kaum
liberalis Cina untuk
menyuarakan banyaknya pelanggaran HAM
di sana.
Amerika memberikan bantuan kepada mereka
yang membantunya dalam mencapai apa
yang menjadi tujuannya.
Seperti halnya Chen
Guangcheng yang dianggap
oleh Cina sebagai pion
dari Amerika yang
dikatakan dalam situs
resminya, karena selalu menyuarakan penolakan one child
policy. Chen yang membuat
gusar pihak berwenang Cina dengan memaparkan pengguguran
dan pemandulan paksa dibawah one child policy. Amerika memberikan
jalan lain bagi
mereka yang ingin
melahirkan di Amerika. Dengan kata lain, Amerika mendukung
para ibu-ibu yang ingin melahirkan anak lebih dari satu dan menentang One Child
Policy yang dibuat oleh pemerintah Cina. Hal ini dikenal dengan tur
melahirkan yang nantinya
anak tersebut bisa
mendapatkan kewarganegaraan Amerika
yang dikelola oleh aktivis Amerika Cina.
Dalam
Bidang Militer
Pasca perang dingin
yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet terjadi pergeseran dalam sistem
politik global yang tadinya bipolar, dimana kekuatan berada di dua kutub yaitu
Barat dan Timur. Lalu kemana kemudian pergeseran itu? Apakah sistem dunia saat
ini unipolar dimana Amerika menjadi pemimpin ataukah multipolar yang ditandai
dengan lahirnya negara-negara baru yang kemudian menyaingi Amerika Serikat?
Namun tentu saja persoalan bukan pada bagaimana sistem dunia, tapi kemudian
bagaimana Amerika Serikat sebagai negara yang sering dijuluki polisi dunia
kemudian menghadapi tantangan atas munculnya negara-negara maju ini dalam
perumusan kebijakan luar negerinya.
Salah satu negara yang
patut diperhatikan adalah China. Pasca runtuhnya Uni Soviet, China menjadi ancaman
yang cukup kuat dimana negara ini masih menggunakan ideologi komunis dan
menjadi supporter utama Korea Utara yang merupakan musuh Amerika. Beberapa kali
China juga menyulitkan Amerika dengan memveto Amerika terkait beberapa
kebijakan di Timur Tengah. China juga menjadi anggota BRICS yaitu sebutan bagi
Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan yang merupakan negara-negara
baru yang maju secara ekonomi dan sering disebut sebagai tandingan G8 yang
terdiri dari negara-negara dengan GDP terbesar dimana AS adalah salah satunya.
Setelah naiknya Barack
Obama, kebijakan luar negeri Amerika bergeser dari Bush yang tadinya sangat
mementingkan kekuatan militer dan fokus untuk memerangi terorisme khususnya di
Timur Tengah menjadi strategi Offshore
Balancing dimana Amerika hanya akan mengerahkan kekuatan militernya ketika
ada ancaman langsung terhadap kepentingan vital AS. Selain itu tidak hanya
fokus di Timur Tengah, Amerika juga mulai fokus terhadap persoalan di Asia
Pasifik. Amerika kemudian menempatkan pasukan marinirnya di Darwin, Australia.
Penempatan pasukan ini adalah yang ketiga setelah Guam dan Okinawa, Jepang.
Secara geografis ketiga kawasan tersebut melingkari China. Itu berarti ada
upaya dari Amerika untuk melakukan Containment
Policy terhadap China yang dinilai kian agresif di kawasan Asia Pasifik.
Meski demikian apa yang dilakukan Amerika tidak sama seperti pada masa perang
dingin saat membendung kekuatan Uni Soviet. Saat ini Amerika lebih halus dan
berhati-hati untuk ikut campur dalam kebijakan China di Asia Pasifik khususnya
terkait dengan masalah sengketa Laut China Selatan dan Sengketa kepulauan
dengan Jepang. Strategi Amerika yang sangat hati-hati juga dipengaruhi oleh
utang luar negerinya. Saat ini China memiliki saham financial di Amerika sebesar
116 trilyun dollar. Hal ini menjadikan China sebagai penagih utang terbesar di
Amerika.
Terkait dengan Sengketa
Laut China Selatan yang beberapa wilayahnya diklaim oleh China, Amerika yang
juga berkepentingan atas kebebasan pelayaran kemudian menandatangani kerjasama
pakta persahabatan dengan ASEAN pada Juli 2013 dimana sebelumnya China, Jepang
dan Rusia juga telah menandatangani pakta tersebut. Padahal pada masa Bush,
Amerika hanya mengirimkan menteri luar negerinya dalam ASEAN Regional Forum
(ARF) sekali dalam tiga tahun. Selain itu Amerika juga gencar mendorong
penyelesaian secara damai atas sengketa tersebut.
Namun di April 2014,
perilaku Obama saat kunjungannya ke empat negara dimana salah satunya adalah
Filipina mengusik China. Dalam kunjungan tersebut Obama berpidato”
"We
believe that all nations and peoples have the right to live in security and
peace and have their sovereignty and territorial integrity respected. We
believe that international law must be held, that freedom of navigation must be
preserved, and commerce must not be impeded. We believe that disputes must be
resolved peacefully and not be intimidation or force,"
Pernyataan Obama ini
sejalan dengan pakta persetujuan yang ditandatangani pada 27 April 2014 untuk
penempatan tentaranya di Filipina. Hal ini perlu dilakukan dengan dalih
perjanjian 1951 dimana negara harus menolong negara lain yang diserang. Menurut
Obama Amerika bertindak sebagai “Iron Clad”, namun tentu saja hal ini dianggap
China sebagai ikut campur atas sengketanya denga Filipina di Laut China
Selatan. Selain itu Amerika juga menandatangani Mutual Defense Treaty dengan Jepang jika suatu saat negara ini
diserang sehubungan dengan sengketa kepaulauan Senkaku/ Daiyou antara Jepang
dan China.
Comments
Post a Comment